Makalah Tentang Nisab Zakat Harta Perniagaan Menurut Syariat Islam
Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk melakukan aktivitas jual beli.
Peran perdagangan sangat penting dalam menghidupkan sirkulasi hasil-hasil
industri, pertanian, jasa dan harta kekayaan lainnya menuju keseimbangan
laju perekonomian manusia dalam pasar barang dan uang. Rasulullah SAW
sendiri sebagaimana yang diungkapkan barbagai literatur sejarah, berlaku
sebagai the role model dengan telah menjadi pedagang internasional pada
usia 37 tahun.
Fenomena yang ada meunjukkan ketertinggalan umat Islam dalam pencapaian
keberhasilan dagang. Padahal secara teoritis, kewajiban zakat pada
komoditas perdagangan dapat merangsang aktifitas produksi dan investasi,
ditandai dengan pola penyaluran dana zakat belakangan ini yang sudah mulai
merambah pola-pola produktif. Dengan begitu baik dilihat dari sudut pandang
muzaki maupun mustahik zakat adalah sebuah instrumen yang mempertemukan
antara kreditor dan debitor, hanya saja polanya lebih elegan mengingat
pemindahan sejumlah aset dari investor kepada pihak debitor dilegalkan
secara syari’ah.
Dengan perkembangan aktivitas perdagangan yang telah jauh berbeda denga
yang terjadi di masa kenabian, penulis mencoba untuk mengakomodasi semua
bentuk aktivitas perdagangan yang tercakup dalam ruang lingkup aset wajib
zakat perdagangan.
Satu hal yang perlu dipahami adalah pengertian zakat komoditas perdagangan
dalam sub bab ini dikhususkan untuk usaha dagang yang dilakukan oleh
perorangan dan tidak untuk perusahaan atau hasil industri sebuah perushaan.
Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan bahwa aktivitas sebuah perusahaan
biasnya lebih kompleks ketimbang aktivitas dagang perseorangan. Selain itu,
kedetailan cara berhitung zakat perusahaan juga harus memperhatikan sistem
pelaporan keuangan yang digunakan oleh sebuah perusahaan (neraca), yang
biasanya tidak menjadi unsur kerja dari bentuk usaha perorangan.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan apa saja yang terhitung sebagai
aset wajib zakat kategori komoditas perdagangan, apa syarat dan berapa
besaran nasabnya dan bagaimana cara menghitungnya.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian zakat ?
2. Apa-apa saja syarat mengeluarkan zakat ?
3. Bagaimanakah pelaksanaan zakat perniagaan ?
Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian zakat.
2. Untuk mengetahui syarat mengeluarkan zakat.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan zakat perniagaan.
GAMBARAN UMUM TENTANG ZAKAT
A. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masda r) dai zakâ yang berarti
berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zakâ, berarti tumbuh
dan berkembang, dan seorang itu zakâ, berarti orang itu baik.
Harta yang dikeluarkan dalam syara dinamakan dengan zakat, karena zakat
akan menambah barang yang dikeluarkan, menjauhan harta tersebut dari
bencana-bencana.
Zakat dalam definisi para fuqaha digunakan untuk perbuatan
pemberian zakat itu sendiri. Artinya memberikan hak yang wajib pada harta.
Zakat dalam urf fuqaha digunakan juga untuk pengertian bagian
tertentu dari harta yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai hak
orang-orang yang berhak menerimanya. Zakat dinamakan juga shadaqah
karena menunjukkan kejujuran hamba dalam beribadah dan taat kepada Allah.
Sedangkan zakat dari istilah fikih berarti sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan oleh Allah dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak,
dan jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bersih
pula.
Kewajiban zakat atas setiap umat Islam yang sampai nisab (batas minimal
dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya) merupakan realisasi dari hukum
Islam itu sendiri, bahkan merupakan hukum kemasyarakatan yang paling tampak
di antara semua hukum-hukum Islam. Sebab di dalam zakat terdapat hak orang
banyak yang terpikul pada pundak individu, di samping kewajiban zakat
sebagai hukum Islam juga merupakan yang banyak diperintahkan oleh al-Qur’an
sebagai sumber pertama hukum Islam. Indikasi ini terbukti pada bentuk
lafadz amar (perintah) atau instruksi terutama yang dijelaskan
dalam QS. at-Taubah ayat 103 :
Artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan, dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi
) ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
[1]
B. Dasar Hukum Zakat
Zakat merupakan rukun Islam ketiga. Oleh karena itu, zakat hukumnya fardhu ain bagi mereka yang telah
memenuhi syarat-syaratnya. Adapun dalil-dalilnya dapat dilihat dalam
al-Quran, Hadis, maupun Ijma’.
1. Dasar hukum dalam al-Qur’an.
Terdapat beberapa ayat dalam beberapa surat dalam al- Qu’an yang
menunjukkan atas wajibnya zakat. Salah satunya terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 43.
Artinya :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'.”
Artinya :
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada
harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).”
(QS. Ar-Rum ayat 39)
2. Dasar Hukum dari Hadist Rasulullah SAW
Kemudian dari hadis dapat dilihat di antaranya hadis dari Ibnu Abbas,
sebagai berikut :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه إِلَى اَلْيَمَنِ ) فَذَكَرَ
اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ اَللَّهَ قَدِ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً
فِي أَمْوَالِهِمْ, تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ, فَتُرَدُّ فِ ي
فُقَرَائِهِمْ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas r. bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus
Mu'adz ke negeri Yaman --ia meneruskan hadits itu-- dan didalamnya
(beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat
dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka."
Muttafaq Alaih
3. Dasar Hukum dari Ijma’ Ulama
Para ulama baik salaf (klasik) maupun k halaf (kontemporer) telah sepakat tentang adanya
kewajiban zakat dan merupakan salah satu rukun Islam serta menghukumi kafir
bagi yang mengingkari kewajibannya.
[2]
C. Syarat-Syarat Zakat
Zakat mempunyai syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sah. Berdasarkan
ketentuan kesepakatan ulama, zakat wajib atas orang merdeka, muslim,
baligh, berakal jika dia memiliki satu nisab dengan kepemilikan
yang sempurna, genap satu tahun. Zakat sah dengan niat yang dibarengkan
ketika pembayaran zakat berdasakan kesepakatan para ulama. Adapun
syarat-syarat wajib zakat sebagai berikut :
1. Merdeka
Seorang budak tidak dikenai kewajiban membayar zakat, karena dia tidak
memiliki sesuatu apapun. Semua miliknya adalah milik tuannya. Menurut
mayoritas ulama, zakat hanya wajib atas tuannya, sebab dia adalah pemilik
harta hambanya.
2. Islam
Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada yang bukan muslim.
Para ulama mengatakan, bahwa oleh karena zakat adalah merupakan salah satu
rukun Islam, maka zakat tidaklah wajib bagi orang kafir, begitu juga shalat
dan puasa.
3. Baligh Dan Berakal
Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat pada kekayaan seorang muslim
dewasa dan waras, tetapi tidak sependapat tentang wajibnya zakat pada
kekayaan anak-anak dan orang gila. Anak kecil dan orang gila tidak dikenai
zakat pada hartanya, karena keduanya tidak dikenai khi tab perintah. Harta tersebut merupakan harta
yang memang wajib dizakati.
4. Kondisi Harta
Kondisi harta adalah termasuk yang wajib dizakatkan. Harta jenis ini ada
lima kelompok. Dua keping logam, barang tambang, barang temuan, barang
dagangan, tanaman, buah-buahan, binatang ternak yang dilepas menurut
mayoritas ulama. Kondisi harta di syaratkan berkembang.
5. Mencapai Nisab (Ukuran Jumlah)
Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang
berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberikan ketentuan sendiri
yaitu sejumlah tertentu yang dalam fikih disebut nisab.
Ringkasnya: nisab zakat emas adalah 20 mitsqal atau dinar. Nisab perak 200 dirham. Nisab biji-bijian, buah-buahan setelah kering menurut
selain Hanafiyah adalah 5 wasaq (653 kg). Nisab pertama kambing adalah 40 ekor kambing, unta 5 ekor, sapi 30
ekor.
6. Kepemilikan Sempurna Dari Harta
Hanafiyah mengatakan, yang dimaksud adalah kepemilikan asli dan kepemilikan
di tangan. Malikiyah mengatakan, yang dimaksud adalah kepemilikan asli dan
kemampuan untuk mengelola apa yang dimiliki. Syafi’iyah mengatakan, yang
dituntut adalah terpenuhinya kepemilikan asli yang sempurna dan kemampuan
pengelolaan. Dan Hanabilah mengatakan, harus terpenuhi syarat kepemilikan
asli, kemampuan pengelolaan dengan bebas.
7. Cukup Haul (Ukuran Waktu, Masa)
Haul
adalah perputaran harta satu nisab dalam 12 bulan
Qamariyah. Apabila terdapat kesulitan akuntansi karena biasanya anggaran
dibuat berdasarkan tahun Syamsiyah, maka boleh dikalkulasikan berdasarkan
tahun Syamsiyah dengan penambahan volume (rate ) zakat yang wajib dibayar, dari 2,5% menjadi 2,575% sebagai
akibat kelebihan bulan Syamsiyah dari bulan Qamariyah. Kecuali hasil
pertanian tidak memerlukan haul, melainkan harus segera
dikeluarkan pada saat panen.
8. Tidak Ada Hutang
Abdurrahman al-Jaziri merinci pendapat para imam madzhab sebagai berikut :
a. Hanafiyah : hutangnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
- Hutang yang murni berkaitan dengan seseorang.
- Hutang yang berkaitan dengan Allah Swt. namun dia dituntut dari aspek manusia.
- Hutang yang murni berkaitan dengan Allah SWT dan tidak ada tuntutan dari aspek manusia.
b. Malikiyah mengatakan bahwa jika seseorang mempunyai hutang yang
mengurangi nisab dan dia tidak mempunyai harta yang bisa
menyempurnakan nisabnya maka dia tidak wajib berzakat.
c. Hanabilah berpendapat bahwa tidak wajib zakat bagi seseorang yang
mempunyai hutang yang menghabiskan nisab hartanya atau
menguranginya, meskipun bukan sejenis dangan harta yang akan dizakati atau
bukan hutang pajak.
9. Melebihi Kebutuhan Pokok
Diantara ulama fikih ada yang menambah ketentuan nisab kekayaan
yang berkembang itu dengan lebihnya kekayaan itu dari kebutuhan biasa
pemiliknya, misalnya ulama-ulama Hanafiyah. Hal itu, karena lebih dari
kebutuhan biasa itulah seseorang disebut kaya dan menikmati kekayaan yang
tergolong mewah, karena sebenarnya yang dibutuhkan hanyalah kebutuhan
biasa.
[3]
D. Hikmah Mengeluarkan Zakat
Tujuan dari zakat sendiri antara lain :
1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan
hidup serta penderitaan.
2. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan
manusia pada umumnya.
3. Menghilangkan sifat kikir bagi pemilik harta.
4. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam
suatu kehidupan masyarakat.
5. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama
mereka yang mempunyai harta.
6. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya.
NISAB ZAKAT HARTA PERNIAGAAN MENURUT SYARIAT ISLAM
A. Pengertian Zakat Perdagangan
Zakat Perdagangan dalam bahasa Arab adalah urȗdh. Bentuk jamak
dari ‘aradh yang berarti harta duniawi, ardh yang berarti
selain emas dan perak (dirham perak dan dinar emas). Yakni, barang-barang,
perumahan, macam-macam hewan, tanaman, pakaian, dan sebagainya yang
disiapkan untuk berdagang.
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas
kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual-beli. Atau dengan kata lain
yang dimaksud dengan harta perdangangan adalah semua harta yang bisa
dipindah untuk diperjual-belikan dan bisa mendatangkan keuntungan. Hampir
seluruh ulama sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat
tertentu harus dikeluarkan zakatnya.
[4]
Dari segi ini fikih Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam
menjelaskan perincian-perincian zakat supaya para pedagang Muslim itu
mengetahui dengan jelas zakat yang dikenakan atas kekayaan mereka dan yang
dikenakan zakat. Ulama-ulama fikih menanamkan hal itu dengan istilah “Harta
Benda Perdagangan” (‘Urudz a t-Tijarah).
Yang mereka maksudkan dengan harta benda perdagangan adalah semua yang
diperuntukkan untuk dijual selain uang kontan dalam berbagai jenisnya,
meliputi alat-alat, barang-barang pakaian, makanan, perhiasan, binatang,
tumbuhan, tanah, rumah, dan barang-barang tidak bergerak maupun bergerak
lainnya. Sebagian ulama memberikan batasan tentang yang dimaksud dengan
harta benda perdagangan, yaitu segala sesuatu yang dibeli atau dijual untuk
tujuan memperoleh keuntungan.
Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan, masanya sudah berlalu satu
tahun, dan nilainya sudah sampai senisab pada akhir tahun itu, maka orang
itu wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5%, dihitung dari modal
keuntungan, bukan dari keuntungan saja. Allah memberi keleluasaan kepada
orang-orang Islam untuk bergiat dalam perdagangan, dengan syarat tidak
menjual sesuatu yang haram dan tidak mengabaikan nilai-nilai moral dalam
melakukannya, seperti kejujuran, kebenaran, dan kebersihan, serta tidak
hanyut terbawa kesibukan dagang sehingga lupa mengingat dan menunaikan
kewajiban terhadap Allah.
Pedagang harus menghitung kekayaan komoditas dagangnya berdasarkan harga
pasaran yang berlaku, walaupun harga itu lebih rendah dari harga beli
ataupun lebih tinggi karena yang menjadi standar adalah harga pasaran yang
berlaku. Yang dimaksud dengan harga pasaran yang berlaku ialah harga jual
komoditas itu yang berlaku pada waktu zakat wajib bayar.
[5]
B. Landasan Hukum Zakat Harta Perniagaan
Kewajiban zakat harta perdagangan ini berdasarkan nash al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 267 sebagai berikut :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Kemudian hujjah hadis yang digunakan oleh para Ulama’ untuk menunjukkan
landasan zakat perdagangan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dengan sanadnya sendiri dari sumber Samra bin Jundab, yang mengatakan :
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم كَان يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ
لِلْبَيْعِ .
Artinya : “
Rasulullah saw. memerintahkan kami agar mengeluarkan sedekah dari
segala yang kami maksudkan untuk dijual”.
Menurut Yȗsuf al-Qardhâwi bahwa dalil konsensus sahabat, tabi’in dan ulama
salaf dapat dilihat dari tuntunan yang diberikan oleh para sahabat. Di
antaranya adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dengan sanad ia
sendiri dari sumber Abdul Qari: “Saya bertugas di kas negara pada masa Umar
bin Khattab.” Beliau bila keluar, mengumpulkan kekayaaan para pedagang
kemudian menghitungnya, baik yang ada pada waktu itu maupun yang tidak,
kemudian menarik zakat dari kekayaan yang ada pada waktu itu maupun tidak.”
Ibn Hazm meriwayatkan pula hadis itu dalam al-Muhalla dan mengatakan bahwa
sanadnya shahih. Diriwayatkan dari Abu Umar bin Hamas dari sumber ayahnya :
“Pada suatu hari Umar lewat dihadapan saya, lalu berkata : saya tidak
mempunyai apa-apa selain anak panah dan selembar kulit, ia membalas, hitung
harganya dan kemudian bayar zakatnya !”.
Dari segi analogi (qiyas) tentang kewajiban zakat, sebagaimana dinyatakan
oleh Ibn Rusyd, harta benda yang diperdagangkan adalah kekayaan yang
dimaksudkan untuk dikembangkan, karena hal itu sama statusnya dengan tiga
jenis kekayaaan yang disepakati wajib zakat, yaitu tanaman, ternak, emas
dan perak.
[6]
C. Nisab dan Kadar Zakat Perdagangan
Nisab barang dagang adalah senilai harga 85 gram emas. Nisab tersebut
dihitung pada akhir tahun. Mengenai nisab barang dagangan ini para Imam
berbeda pendapat, yaitu sebagai berikut :
Pendapat pertama
, dari Imam Malik dan Syafi’i yang mengatakan bahwa nisab diperhitungkan
pada akhir tahun, karena nisab erat dengan harga barang. Sedangkan menilai
harga barang dagangan setiap waktu adalah pekerjaan yang sulit. Maka masa
wajib zakatnya adalah akhir tahun yang berlainan dihitung dengan masa wajib
zakat objek-objek zakat lain karena nisab dihitung dari bendanya yang tidak
sulit menghitung.
Pendapat kedua
, nisab itu harus diperiksa setiap waktu. Bila harta belum mencapai dalam
suatu waktu, maka tempo dianggap batal, karena dagang adalah kekayaan yang
memerlukan perhitungan nisab dan waktu. Oleh karena itu, jumlah senisab
penuh harus konstan pada setiap waktu, begitu pula dengan
ketentuan-ketentuan lainnya yang juga harus konstan setiap waktu. Pendapat
ini dianut oleh Imam Tsauri, Abu Ubaid, Imam Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundir.
Pendapat ketiga
, perhitungan nisab cukup dilakukan di awal dan di akhir, bukan antara dua
masa itu. Bila nisab sampai pada salah satu awal atau akhir tahun, maka
zakat wajib dikeluarkan, sekalipun sebelum waktu itu nisab belum cukup. Ini
pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Menurut Yȗsuf al-Qardhâwi pendapat yang benar adalah pendapat Imam Malik
dan Syafi’i, karena mempersyaratkan satu nisab harus berumur satu tahun
tidaklah mempunyai satu landasan apapun dan tidak pula didukung oleh
satupun hadis shahih. Yang penting adalah apabila nisab sudah cukup pada
suatu masa, maka mulai saat itu perhitungan sudah berlaku dan merupakan
permulaan tahun perhitungan bagi seorang muslim.
[7]
Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan, masanya sudah berlaku satu
tahun, dan nilainya sudah sampai senisab pada akhir tahun itu, maka orang
itu wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5%, dihitung dari modal dan
keuntungan, bukan dari keuntungan saja.
[8]
D. Syarat-Syarat Zakat Harta Perdagangan
Setiap barang yang diperdagangkan wajib dikeluarkan zakatnya dengan
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Ada niat memperdagangkannya ketika membeli barang tersebut, saat
transaksi ditengah-tengah majelis akad, dan niat tersebut harus diperbarui
setiap kali melakukan transaksi hingga pembelian menghabiskan modal.
2. Harta perdagangan diperoleh murni dengan transaksi jual-beli, bukan
lewat warisan dan hibah. Jika demikian halnya, maka harta tersebut bukan
termasuk komoditas harta perdagangan.
3. Harta perdagangan itu tidak diniatkan untuk dimiliki sendiri di
tengah-tengah tahun.
4. Telah terpenuhi satu tahun.
5. Pada akhir tahun nilai komoditas dagang tersebut telah mencapai satu
nisab, karena perhitungan terhadap nilainya adalah pada akhir tahun.
[9]
E. Memperniagakan Barang Yang Wajib Dan Tidak Wajib Zakat
Apabila harta tijarah ada satu nisab, tidak dijadikan dua zakat,
zakat tijarah dan zakat ‘ain. Yang wajib hanya salah
satunya saja. Dinukil dari pendapat Imam Syafi’i, menurut Syafi’i dalam
mazhab jadidnya yang harus dikeluarkan adalah zakat ‘ainnya.
Menurut mazhab qadimnya yang harus dikeluarkan adalah zakat tijarahnya. Apabila masalah ini diperhatikan lebih jauh, maka
lebih condong kepada penetapan Syafi’i dalam mazhab qadimnya. Dan apabila
budak dibeli untuk tijarah, wajiblah dia mengeluarkan fitrah terhadap budak
itu pada waktunya dan zakat tijarah di kala sampai satu tahun.
[10]
Apabila sesuatu barang yang tidak wajib zakat dibeli untuk tijarah
maka jika dibeli dengan senisab mata uang pada permulaan tahun dihitung
saat ketika memiliki mata uang dan jika tidak senisab, dihitunglah tahun
dari masa membelinya. Dan jika dibeli dengan barang yang bukan dari harta
zakat, maka tahunnya dihitung saat membeli.
Kemudian dalam buku Hukum Zakat Yȗsuf al-Qardhâwi dijelaskan. Pada zaman
sekarang kita mengenal ternak bukan gembala yang diambil susunya dan
memberikan penghasilan yang besar kepada pemiliknya. Dan kita juga mengenal
ladang-ladang peternakan yang menghasilkan produksi telur atau daging yang
sangat besar, belum dikenal oleh orang-orang muslim pada zaman Nabi, zaman
sahabat, dan zaman sesudah mereka, sehingga mereka belum menetapkan
hukumnya.
Jawaban masalah ini dapat kita ambil dari alasan yang dikemukakan
ulama-ulama fikih tentang alasan tidak wajibnya zakat atas susu ternak
gembalaan dan alasan wajibnya zakat atas madu, sedangkan keduanya sama-sama
produksi hewani. Para ulama fikih memang membedakan antara susu ternak
gembalaan dan madu lebah. Susu ternak gembalaan yang dasarnya dari ternak
gembalaan itu, harus dikeluarkan zakatnya. Oleh karena itu tidak sama
dengan madu. Hal itu berarti bahwa sesuatu yang dasarnya belum dikeluarkan
zakatnya wajib dikeluarkan zakatnya dari produksinya. Dalam hal ini susu
sapi dan produk hewani sejenisnya dapat diqiyaskan dengan madu lebah,
karena kedua-duanya produk hewani yang belum dikeluarkan zakatnya dari
dasarnya.
[11]
Oleh karena itu Yȗsuf al-Qardhâwi berpendapat bahwa produk-produk hewani
seperti susu dan sebagainya, harus diperlakukan sama dengan madu. Dipungut
zakatnya sebesar 1/10 dari penghasilan bersih (berlaku pada ternak-ternak
peliharaan yang khusus diambil susunya dan tidak merupakan barang
dagangan).
Ketentuan yang bisa kita tegaskan di sini adalah bahwa dasar yang belum
dikeluarkan zakatnya wajib dikeluarkan zakatnya dari produksinya, seperti
hasil tanaman dari tanah, madu dari lebah, susu dari binatang ternak, telur
dari ayam, dan sutera dari ulat sutera. Hal ini adalah pendapat Imam Yahya,
salah seorang fuqaha Syi’ah yang mewajibkan sutera dikeluarkan zakatnya,
seperti zakat madu karena kedua-duanya keluar dari pohon. Tetapi tidak
mewajibkan zakat pada ulat suteranya seperti juga tidak pada lebahnya,
kecuali jika ulat sutera tersebut untuk perdagangan.
Di antara ulama fikih ada pula yang berpendapat lain tentang hewan ternak
yang dimaksudkan untuk investasi dan penambahan penghasilan. Mereka
menggolongkannya ke dalam harta dagangan. Maka wajib dihitung nilai antara
modal dan keuntungannya, lalu wajib dikeluarkan zakatnya 2,5% dari modal
dan keuntungan tersebut. Ini menurut segolongan ulama fikih mazhab Zaidiah
seperti Hadi, Muayyid Billah dan lain-lainnya.
Seseorang yang membeli kuda untuk dijual produknya atau sapi untuk dijual
susunya, atau ulat sutera untuk dijual suteranya, atau sejenisnya, maka
orang itu harus menghitung nilai benda-benda tersebut bersama dengan
produknya pada akhir tahun, lalu mengeluarkan zakatnya sebesar zakat
perdagangan.
[12]
F. Perhitungan Zakat Yang Harus Dikeluarkan
Tanaman hasil bumi ada yang dapat ditakar dengan literan dan ada yang hanya
dengan timbangan saja. Tentu menjadi pertanyaan kita, apakah perhitungan
zakatnya termasuk ke dalam hasil pertanian, atau barang perdagangan?.
Rinciannya sebagai berikut :
1. Sekiranya dimasukkan ke dalam kelompok hasil pertanian, standar
perhitungannya adalah 750 kg. Maka zakat yang dikeluarkan setiap panen :
1/20 (5%) karena memerlukan biaya perawatan.
Maka, 1/20 (5%) x 750 kg = 37,5 kg (jumlah yang harus dizakatkan).
Umpamanya, jika kita mempunyai buah jeruk melebihi 750 kg, dan harga jeruk
Rp.5000/kg. Maka nilai zakatnya yaitu 37,5 kg x Rp. 5000 = Rp.187. 500,- (jumlah uang yang harus dizakati).
2. Sekiranya dikelompokkan ke dalam perdagangan, maka perhitungannya
demikian:
Standar perhitungannya dengan 85 gr emas. Bila harga emas Rp.100.000/gr,
maka nisabnya yaitu 85 gr x Rp. 100.000 = Rp.8.500.000,-. Adapun jumlah
zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% x Rp. 8.500.000 = Rp. 212.500,-
[13]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat dipetik dari pembahasan makalah ini adalah
sebagai berikut :
- Allah SWT telah mensyariatkan kepada manusia khususnya umat Islam untuk membayar zakat
- Tujuan daripada membayar zakat adalah untuk menyempurnakan salah satu rukun Islam, menyucikan jiwa dan harta, dan memenuhi hak-hak orang lain yang terdapat dalam harta kita.
- Landasan hukum kewajiban membayar zakat sudah tertera dalam Al-Quran dan Hadist.
- Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual-beli. Dengan kata lain yang dimaksud dengan harta perdangangan adalah semua harta yang bisa dipindah untuk diperjual-belikan dan bisa mendatangkan keuntungan. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya.
- Nisab barang dagang adalah senilai harga 85 gram emas. Nisab tersebut dihitung pada akhir tahun. Zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari nisab.
- Allah akan memberikan ancaman dan siksaan yang sangat pedih bagi manusia-manusia yang enggan membayar zakat.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentulah terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik dan saran supaya
makalah ini lebih baik ke depan. Dan penulis juga mengharapkan kepada
pembaca untuk tidak hanya terfokus pada makalah yang telah penulis susun
ini, khususnya tentang zakat perniagaan. Hendaklah untuk mencari sumber
lain supaya pengetahuan kita terus bertambah.
[1]
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wak af (Bogor : Darul Ilmi Publishing,
2011), hal. 40.
[2]
Ibid
., hal. 42
[3]
Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pa jak (Yogyakarya : Tiara Wacana,
2003), h. 41.
[4]
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat,
(Jakarta : Pustaka Azzam, 2004), hal. 109.
[5]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillat uhu 3, terj. Abdul Hayyie
Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 164-165.
[6]
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat , (Bogor :Lintera Antar Nusa, 2001), hal. 303-304.
[7]
Ibid
., hal. 315
[8]
Ibid
., hal. 317
[9]
Abdul Aziz, Fiqh Ibadah, (Jakarta : Amzah Press, 2004),
hal. 383-385.
[10]
Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1976), hal. 102.
[11]
Yusuf Qardawi, op.cit., h. 405.
[12]
Ibid
., hal. 405-406.
[13]
M. Ali Hasan,
Zakat dan Infak : Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial
Di Indonesia.
(Jakarta : Kencana, 2006), hal. 56.
No comments