Ancaman Hukum Terhadap Pelaku Curang Dalam Jual Beli Menurut Hukum Islam
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah
dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan
muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu
cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya
adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat
satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang
piutang dan lain-lain.
Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan
sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang
terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan
yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang
mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Nabi.
Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur agama
Islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang didalamnya terdapat
aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli
seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak
diperbolehkan.
Melihat fenomena yang sekarang ini, begitu banyak terlihat
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang yang tidak
bertanggung jawab. Mereka melakukan kecurangan-kecurangan untuk memperoleh
keuntungan yang lebih untuk dirinya sendiri tanpa mau memikirkan kerugian
yang diderita oleh orang lain.
Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas sedikit tentang
ancaman terhadap orang yang berbuat curang. Semoga bermanfaat...
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penjelasan tentang jual beli ?
2. Bagaimanakah bentuk kecurangan yang sering terjadi dalam jual beli ?
3. Bagaimanakah larangan dan ancaman bagi orang yang melakukan tindak
kecurangan ?
Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang jual beli.
2. Untuk mengetahui bentuk kecurangan yang sering terjadi dalam jual beli.
3. Untuk mengetahui larangan dan ancaman bagi orang yang melakukan tindak
kecurangan.
GAMBARAN UMUM TENTANG JUAL BELI
A.
Pengertian Jual Beli
Setiap individu pasti mengalami atau melakukan transaksi yang berupa
jual-beli, dari sinilah perlu penulis kemukakan definisi dari jual-beli.
Pengertian jual-beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli. Dalam
istilah Islam, kata jual-beli mengandung satu pengertian, yang berasal dari
bahasa Arab, yaitu kata “باع”, yang jama’nya adalah “بيوع” dan
konjungsinya adalah “ باع – يبيع - بيعاً” yang berarti menjual.
[1]
M. Ali Hasan dalam bukunya Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam
(fiqh Islam) mengemukakan bahwa pengertian jual-beli menurut bahasa, yaitu
jual-beli (البيع) artinya “menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan
sesuatu yang lain)”. Kata البيع dalam bahasa Arab
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata الشراء (beli). Dengan demikian kata البيع
berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.
[2]
Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar, juga
mendefinisikan jual-beli (بيع) secara bahasa, sebagai berikut :
إعطاء شيئ في مقابلة شيئ
Artinya : “ Memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu)”.
[3]
Adapun pengertian jual-beli menurut istilah fiqh adalah:
1. An-Nawawi mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال او نحوه
Artinya : “ Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”.
[4]
2. Sayyid Sabiq mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال على سبيل التراضي
Artinya: “ Saling menukar harta dengan harta stas dasar suka sama suka”.
[5]
3. Ibnu Qudamah mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال تمليكا و تملّكا
Artinya : “ Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”.
[6]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
jual-beli merupakan sarana tempat bertemunya antara penjual dan pembeli
yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sehingga keduanya dapat saling
memperoleh kebutuhannya secara sah. Dengan demikian jual-beli juga
menciptakan حبل من الناس(hubungan antara manusia) di muka bumi ini dengan
alasan agar keduanya saling mengenal satu sama lain, sehingga interaksi
sosial dapat terlaksana dengan baik, karena manusia merupakan makhluk
sosial.
Dengan demikian, jual-beli merupakan pertukaran harta antara dua pihak atas
dasar saling rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan,
berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat
dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan di sini
berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang
sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata uang lainnya.
[7]
B.
Dalil Hukum Jual Beli
Jual-beli yang disyari’atkan Islam, mempunyai dasar-dasar hukum sebagai
berikut :
1.
Al-Qur’an
a. Firman Allah SWT. terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 275:
Artinya :
“...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.....”
Dari ayat tersebut di atas, sudah jelas bahwa Allah SWT menghalalkan
jual-beli dan tidak menghendaki adanya riba di masyarakat, karena Allah
mengharamkan riba.
b. Firman Allah SWT. terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 29 :
Artinya: “
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kalian. Dan janganlah
kalian membunuh diri kalian sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepada kalian.”
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zilalil Qur’an mengemukakan bahwa
Allah SWT. menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, karena tidak
adanya unsur-unsur kepandaian, kesungguhan dan keadaan alamiah dalam
jual-beli dan sebab-sebab lain yang menjadikan perniagaan pada dasarnya
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sedangkan, perbuatan riba pada dasarnya
merusak kehidupan manusia, Islam telah mengatasi keadaan-keadaan yang
terjadi pada masa itu dengan pengobatan yang nyata, tanpa menimbulkan
gejolak ekonomi dan sosial.
[8]
Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi menyatakan bahwa,
memakan harta dengan cara yang batil adalah mengambil tanpa keridhaan dari
pemilik harta atau menafkahkan harta bukan pada hakiki yang bermanfaat,
maka termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual-beli, riba
dan menafkahkan harta pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan
mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal. Harta
yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara
orang yang memakan harta itu menjadi miliknya.
[9]
2.
Sunnah
Agama Islam mensyari’atkan jual-beli dengan sah, terbukti adanya dasar yang
terdapat dalam nash al-Qur’an sebagaimana telah diterangkan di muka. Selain
nash al-Qur’an Nabi Muhammad saw, juga menyebutkan dalam haditsnya :
عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه ان النبيّ ص.م سئل : ايّ اكاسب اطيب ؟ قال عمل
الرجل بيده و كل بيع مبرور (رواه البزا وصححه الحاكم)
Artinya :
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. pernah
ditanya oleh seseorang, usaha apakah yang paling baik ? Nabi menjawab:
usaha manusia denga tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang halal”.
Hadits Nabi SAW. tersebut menerangkan bahwa manusia harus berusaha mencari
rizkinya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Jika usahanya itu
berupa jual-beli, maka jual-beli itu harus halal tanpa ada unsur penipuan.
سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن قتادة عن صالح ابي الخليل عن عبد الله بن الحرث
رفعه الى حكيم بن حزام رضي الله عنهم قال : قال رسول الله ص.م البيعان بالخيار
ما لم يتفرّقا او قال حتّى يتفرقا فإن صدقا و بيّنا بورك لهما في بيعهما و ان
كتما و كذبا محقت بركة بيعهما (رواه البخاري)
Artinya :
“Sulaiman bin Harbi menceritakan kepada kita Syu’bah dari Qatadah dari
Sholih Abi Kholil dari Abdillah bin Harts Rafa’ah kepada Hakim bin
Hizam r.a berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Dua orang yang
berjual-beli menggunakan hak memilih selama belum berpisah. Jika
keduanya jujur dan memberi keterangan (benar), niscaya keduanya diberi
berkah dalam jual-belinya itu. Dan jika keduanya menyembunyikan
(keadaan sebenarnya) dan berdusta, niscaya berkah keduanya itu
dibinasakan”.
(HR. Bukhari)
Hadits tersebut menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan transaksi
jual-beli hendaklah jujur dan tidak boleh menyembunyikan apapun dari
jual-beli tersebut dan tidak boleh berdusta.
[10]
3.
Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan beberapa ahli istihsan atau sejumlah mujtahid
umat Islam setelah masa Rasulullah SAW, tentang hukum atau ketentuan
beberapa masalah yang berkaitan dengan dengan syari’at atau suatu hal.
Menurut pendapat ulama-ulama jumhur, ijma’ menempati tempat ketiga sebagai
sumber hukum syari’at Islam, yaitu suatu permufakatan atau kesatuan
pendapat para ahli muslim yang muslim yang mujtahid dalam segala zaman
mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.
Adapun landasan ijma’ ummah tentang jual-beli yaitu ummat sepakat bahwa
jual-beli dan penekanannya sudah berlaku sejak zaman Rasulullah SAW,
perbuatan itu telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW.
[11]
C.
S
yarat dan Rukun Jual-Beli
Islam membolehkan umatnya untuk berjual-beli, oleh karena itu jual- beli
haruslah sebagai sarana untuk saling mengenal antara satu sama lain
sehingga hubungan muamalat yang baik dan jual-beli yang terjadi juga atas
dasar suka sama suka. Sehingga penipuan dengan berbagai bentuknya tidak
akan terjadi dalam jual-beli, yang akan merugikan salah satu pihak.
Dalam melakukan transaksi jual-beli harus mengetahui aturan-aturan dan
batasan-batasan dalam bertransaksi, oleh karena itu penulis mencoba
mengemukakan aturan-aturan tersebut dalam syarat dan rukun jual-beli yang
terdapat kitab-kitab fiqh.
Adapun syarat dan rukun jual-beli secara garis besarnya meliputi :
1.
Sighat
2.
‘Aqid
3.
Ma’qud ‘alaih
Dalam suatu perbuatan jual-beli, ketiga rukun ini hendaklah dipenuhi,
seandainya salah satunya tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual-beli.
[12]
1.
Sighat
Sighat adalah akad dari kedua belah pihak, baik dari penjual atau pembeli.
Aqad merupakan niat akan perbuatan tertentu yang berlaku pada sebuah
peristiwa tertentu. Menurut istilah fiqh akad disebut juga ijab qabul.
Menurut T.M. Hasby ash-Shiddieqy, akad menurut lughat ialah:
الربط : و هو جمع طرفي حبلين و يشدّ احدهما بالآخر حتى يتصلا فيصبح فواحدة.
Artinya :
“Rabath (mengikat) yaitu: mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah
satunya dengan yang lain hingga bersanbung, lalu keduanya menjadi satu
benda”.
[13]
Adapun Akad menurut istilah adalah :
ارتباط الإيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت التراضي
Artinya:
“Perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan persetujuan kedua belah pihak”.
Sedangkan pengertian ijab-qabul itu sendiri adalah Ijab yaitu permulaan
penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, buat memperlihatkan
kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qabul yaitu
jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan
persetujuannya.
[14]
Adapun ijab qabul, memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Keadaan ijab qabul satu sama lainnya harus di satu tempat tanpa ada
pemisah yang merusak.
b. Ada kesepakatan atau kemufakatan ijab qabul pada barang yang saling ada
kerelaan diantara mereka, berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika
keduanya tidak sepakat dalam jual-beli atau aqad, maka dinyatakan
kesepakatan maka jual-beli itu sah.
c. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi), seperti perkataan
penjual “aku rela menjual” dan perkataan pembeli “aku telah
terima”, atau masa sekarang (mudhari’) jika yang diinginkan pada
waktu itu juga. Jika yang diinginkan masa yang akan datang dan semisalnya,
maka hal itu merupakan janji untuk berakad dan janji tidaklah sebagai akad
yang sah. Oleh karena itu tidak sah secara umum.
[15]
Pada dasarnya ijab qabul itu tidak harus dilakukan dengan lisan, namun akad
dalam jual-beli dapat juga dilakukan dengan sesuatu yang menunjukkan
pemilikan dan pemahaman dengan apa yang dimaksud. Dengan kata lain, bahwa
ijab qabul tersebut tidak harus dengan kata-kata yamg jelas, akan tetapi
yang dinamakan dalam ijab qabul itu dapat juga dengan maksud dan makna yang
dilontarkan antara penjual dan pembeli dengan sindiran atau kata kiasan.
2.
Aqid
Aqid adalah orang yang melakukan aqad yaitu penjual dan pembeli. Adapun
syarat-syarat aqid adalah :
a. Baligh
Maksudnya adalah anak yang masih di bawah umur, tidak cakap untuk melakukan
transaksi jual-beli, karena dikhawatirkan akan terjadi penipuan.
b. Berakal
Maksudnya adalah bisa membedakan, supaya tidak mudah terkicuh.
c. Tidak dipaksa.
Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi harus dilakukan atas dasar
suka sama suka.
انما البيع عن التراضي
Artinya:
“Yang dinamakan berjual-beli ialah jika dilakukan dengan sama rela”.
d. Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang mubazir itu
ditangan walinya. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ ayat 5 :
Artinya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
swt sebagai pokok kehidupan).(QS. An-Nisa’: 5)
e. Jelas barangnya.
Barang yang diperjual-belikan oleh penjual dan pembeli dapat diketahui
dengan jelas zatnya, bentuknya maupun sifatnya sehingga tidak terjadi
kekecewaan diantara kedua belah pihak yang mengadakan jual-beli, juga tidak
terjadi jual-beli gharar, karena hal itu adalah dilarang oleh agama Islam.
3.
Ma’qud ‘Alaih
Adalah barang yang menjadi obyek jual-beli harus mempunyai beberapa syarat
yaitu sebaai berikut :
a. Keadaannya suci. Maksudnya adalah Islam melarang menjual-belikan benda
yang najis.
b. Memiliki manfaat.
c. Barang sebagai obyek jual-beli dapat diserahkan.
d. Barang itu kepunyaan orang yang menjual.
[16]
D.
Hikmah dari Pelaksanaan Jual Beli
Allah SWT mensyari’atkan jual beli sebagai bagian dari bentuk ta’awun
(saling menolong) antar sesama manusia, juga sebagai pemberian keleluasaan,
karena manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan,
papan dsb. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih
hidup.
Tak seorangpun dapat memenuhi seluruh hajat hidupnya sendiri, karena itu
manusia dituntut berhubungan satu sama lain dalam bentuk saling tukar
barang. Manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang
dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah
salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka akan
mudah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya. Berikut ini adalah
hikmah jual beli,antara lain :
1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3. Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang
dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan menerima barang.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau
secara bathil.
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt. Bahkan 90% sumber rezeki
berputar dalam aktifitas perdagangan.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
[17]
ANCAMAN BAGI ORANG YANG CURANG DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
A.
Kecurangan Dalam Jual Beli
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan
sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau kecurangan
artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hari nuraninya atau, orang
itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh
keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha. Kecurangan menyebabkan orang
menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan
tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya, dan
senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita.
Setiap orang tentu tidak ingin dicurangi ketika melakukan transaksi jual
beli. Akan tetapi pada umumnya dari sekian banyak pedagang yang berjualan
tentu ada saja yang melakukan kecurangan, baik yang secara sengaja maupun
tidak sengaja. Jika kita menjadi korban tentu kita akan dirugikan, baik
secara materiil maupun moril.
Beberapa bentuk kecurangan yang biasa terjadi dalam jual beli adalah
seperti sebagai berikut di bawah ini :
1. Mengurangi berat timbangan.
2. Menjual barang jelek tanpa memberitahukan kejelekan barang tersebut.
3. Mencoba produk yang dijual tanpa seizin penjual.
4. Mengurangi uang kembalian.
5. Memberi potongan harga barang yang telah dinaikkan dulu harganya.
6. Menjual barang palsu.
7. Menjual barang yang tidak sah seperti najis, barang curia, dan lain
sebagainya.
8. Menjual makanan dan minuman yang bisa menyebabkan penyakit.
Dari waktu ke waktu tentu akan ada metode / teknik curang lainnya dalam
kegiatan jual beli masyarakat. Yang harus kita lakukan adalah selalu
waspada dan berhati-hati dalam jual beli agar kita tidak menjadi korban
dari tindakan curang dari orang yang menjual barang kepada kita maupun
orang yang membeli barang dagangan kita. Mudah-mudahan kita selalu
mendapatkan perlindungan Allah SWT dari segala kecurangan jual beli kita
sehari-hari.
[18]
Selain beberapa hal di atas, perlu kita ketahui pula kecurangan yang
terjadi dalam jual beli dan menyebabkan jual beli tersebut terlarang. Jual
beli terlarang tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Jual beli gharar. Adalah jual beli yang mengandung unsur
penipuan dan penghianatan.
2. Jual beli mulaqih (الملاقيح). Yaitu jual beli di mana barang
yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuh
dengan betina.
3. Jual beli mudhamin (المضامين), yaitu jual beli hewan yang masih
dalam perut induknya,
4. Jual beli muhaqolah (المحاقلة), yaitu jual beli buah buahan
yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan.
5. Jual beli munabadzah (المنابذة), yaitu tukar menukar kurma
basah dengan kurma kering dan tukar menukar anggur basah dengan anggur
kering dengan menggunakan alat ukur takaran.
6. Jual beli mukhabarah (المخابرة), yaitu muamalah dengan
penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan oleh tanah
tersebut.
7. Jual beli tsunaya (الثنيا), yaitu jual beli dengan harga
tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah
barang dengan pengecualian yang tidak jelas.
8. Jual beli ‘asb al-fahl (عسب الفحل), yaitu memperjual-belikan
bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk
mendapatkan anak.
9. Jual beli mulamasah (الملامسة), yaitu jual beli antara dua
pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang
diperjual-belikan waktu malam atau siang.
10. Jual beli munabadzah (المنابذة), yaitu jual beli dengan
melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas
dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli.
11. Jual beli ‘urban (العربان), yaitu jual beli atas suatu barang
dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan
bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang
telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang
telah menerimanya terlebih dahulu.
12. Jual beli talqi rukban (الركبان), yaitu jual beli
setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan
mengetahui harga pasaran.
13. Jual beli orang kota dengan orang desa (بيع حاضر لبلد), yaitu orang
kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang
baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
14. Jual beli musharrah (المصرة). Musharrah adalah nama hewan
ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal
ini dilakukan agar harganya lebih tinggi.
15. Jual beli shubrah (الصبرة). Yaitu jual beli barang yang
ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam.
16. Jual beli najasy (النجش). Yaitu jual beli yang bersifat
pura-pura di mana si pembeli menaikkan harga barang, bukan untuk
membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga
yang tinggi.
[19]
B.
Larangan dan Ancaman bagi Orang Yang Berbuat Curang
Berdagang adalah salah satu cara terbaik untuk untuk mengais rejeki. Jual
beli sudah ada semenjak zaman dahulu karena jual beli memang salah satu
kebutuhan manusia dalam hidup. Dengan jual beli kita dapat memiliki barang
yang dimiliki oleh orang lain dengan cara yang halal. Namun, terkadang jual
beli dimanfaatkan oleh salah satu pihak demi melahap keuntungan yang
sebanyak-banyaknya, akibatnya pihak yang lain dirugikan, atau dalam kata
lain ia didzalimi.
Betapa banyak orang-orang yang tertipu oleh setan. Mereka diletakkan oleh
setan di jurang kebinasaan. Mereka digoda agar menempuh jalan yang tidak
halal dalam harta orang lain dan hak-hak mereka. Hingga sebagian orang
menganggap bahwasanya harta yang halal adalah harta yang ia miliki dengan
cara apapun walaupun itu merupakan harta yang batil. Allah SWT mengingatkan
dala QS. An-Nisa ayat 29 :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Bentuk kecurangan jual beli yang sangat tersebar adalah curang dalam
timbangan dan takaran. Praktek ini masih banyak dilakukan oleh sebagian
orang. Dahulu Allah mengadzab kaum Nabi Syuaib, selain karena mereka kufur
kepada Allah, mereka juga suka berlaku curang dalam timbangan dan takaran.
Allah subhanahu wata’ala mengancam orang yang berlaku curang dalam
timbangan dan takaran dalam firmannya QS. Al-Muthaffifin ayat 1-6.
Artinya : “
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
” (QS. Al-Muthaffifin: 1-6)
Yang dimaksud dengan التطفيف (At-Tathfif) di sini adalah berbuat
curang dalam timbangan dan takaran, entah itu dengan cara menambahnya jika
ia membeli dari orang lain, atau dengan menguranginya jika ia yang menjual
kepada mereka. Orang yang melakukan praktek tersebut masuk ke dalam ancaman
Allah pada ayat di atas, karena ia telah mendzalimi orang lain. Ia telah
mengambil hak orang lain dengan cara tidak benar, sehingga ada barang haram
di dalam hartanya, dan ia akan makan dari harta haram tersebut sehingga ada
darah ataupun daging dalam tubuhnya yang tumbuh dari harta haram. Padahal
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya : “Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka
neraka lebih pantas baginya.”
(HR. Tirmidzi).
Oleh karena itu, Allah memerintahkan hambanya untuk berlaku adil dalam
timbangan dan takaran. Sebagaimana dalam QS. Al-Isra ayat 35 :
Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan
lebih baik akibatnya.”
(QS. Al-Isra’: 35)
Terkait larangan berlaku curang ini, Rasulullah pernah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ
أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ
أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ
الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
Artinya :
“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan
beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini
wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu
tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya?
Ketahuilah, barangsiapa berbuat curang maka dia bukan dari golongan
kami.”
(HR. Muslim).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa ketika Rasulullah melewati sebuah
pasar, beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanannya.
Bisa jadi seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah.
Bahan makanan yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namun,
ketika memasukkan jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan
tersebut, beliau dapatkan ada yang basah karena kehujanan (yang berarti
bahan makanan itu ada yang cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian
bawah agar hanya bagian yang bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah pun
menegur perbuatan tersebut dan mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini
berarti menipu pembeli, yang akan menyangka bahwa seluruh bahan makananan
itu bagus.Seharusnya seorang mukmin menerangkan keadaan barang yang akan
dijualnya, terlebih lagi apabila barang tersebut memiliki cacat ataupun
aib.
Hadis di atas menunjukkan bahwa haramnya menyembunyikan barang yang cacat
dan wajibnya menerangkan yang cacat itu kepada pembeli. Perkataan “ maka dia bukan termasuk dari golongan kami” menunjukkan haramnya
menipu dan itu telah menjadi ijma’ ulama.
Dalam hadis lain yang Rasulullah SAW pun bersabda :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ.
Artinya :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari menawar barang untuk
mengecoh pembeli yang lain”
(HR. Nasa’i)
Hadis tersebut dapat kita pahami bahwa Rasulullah SAW melarang kita untuk
menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain, maksudnya adalah menawar
yang dimaksud bukan untuk membeli tetapi mempengaruhi pembeli yang lain
supaya pembeli itu membeli barang tersebut dengan harga tinggi yang
ditawarkannya. Orang yang tidak berminat untuk membeli dan tidak tertarik
hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para
pengunjung (pembeli) yang berminat untuk tawar menawar sesuai harga yang
diinginkan. Sedangkan dalam hadits ini jelas dilarang, dimana ada
perhitungan untuk menguntungkan penjual ataupun adanya kesepakatan antara
si penjual dengan beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang.
Harapannya agar pembeli yang datang menawar dengan harga yang lebih tinggi,
tentunya ini haram karena ada unsur penipuan dan mengambil harta dengan
cara batil.
Rasulullah SAW mengancam kepada orang yang suka berbuat curang akan ditimpa
beberapa musibah. Sebagaimana dalam hadistnya :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَنْقُصُوا
الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ، إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ، وَشِدَّةِ
الْمَئُونَةِ ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ
أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ ، وَلَوْلَا
الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا... )أخرجه ابن ماجه و غيره(
Artinya :
”…Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa
paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka.
Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari
langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya
bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan….”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya)
Maksudnya adalah mereka ditimpa kekeringan dan paceklik, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menahan hujan dari mereka (Dia tidak
menurunkan hujan untuk mereka), dan jika bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
maka Allah akan mengirimkan musibah kepada mereka berupa serangga, ulat dan
hama penyakit lain yang merusak tanaman. Dan jika tanaman itu berbuah maka
buahnya tidak ada rasa manis dan segar. Betapa banyak petani yang melakukan
kecurangan didapati buah-buahannya tidak memiliki rasa.
[20]
Itulah beberapa dalil tentang larangan ancaman berbuat curang daalm
melakukan jual beli dan bermuamalah sesama manusia. Semoga kita tidak
termasuk dalam golongan tersebut.
C.
Faktor Penyebab Terjadinya Kecurangan
Perbuatan curang memang biasanya tidak muncul begitu saja. Ada banyak
faktor dan pemicu seseorang melakukan perbuatan tersebut. Di antaranya:
1. Lemahnya iman, sedikitnya rasa takut kepada Allah dan kurangnya
kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan menyaksikan setiap
perbuatannya sekecil apa pun.
2. Kebodohan sebagian orang tentang haramnya perbuatan curang, khususnya
dalam bentuk-bentuk tertentu dan saat perbuatan tersebut sudah menjadi
sistem ilegal dalam sebuah lembaga atau organisasi.
3. Ketiadaan ikhlas (niat karena Allah) dalam melakukan aktifitas, baik
dalam menuntut ilmu, berniaga dan yang lainnya.
4. Ambisi mengumpulkan pundi-pundi harta kekayaan dengan berbagai macam
cara. Yang penting untung besar, walaupun dengan menumpuk dosa-dosa yang
kelak akan dituntut balas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “
Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak lagi
mempedulikan apa yang didapatkannya, dari yang halal atau dari yang
haram.”
(HR Bukhari)
5. Lemahnya pengawasan orang-orang yang berwenang untuk melakukan
pengawasan terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
6. Tidak adanya kesungguhan. Sebagian orang bermalas-malasan menyelesaikan
tugas dan apa yang menjadi kewajibannya, saat semua itu harus ia
pertanggung jawabkan, maka ia pun menutupinya dengan perbuatan curang.
Seperti seorang murid yang malas belajar, saat datang masa ujian, ia pun
berusaha berbuat curang agar bisa lulus ujian.
7. Berteman dengan orang-orang yang suka berbuat curang dan selalu menuruti
ajakan setan untuk berbuat curang.
8. Lemahnya pendidikan yang ditanamkan sejak kecil di rumah atau di
sekolah. Sering kali orang tua atau guru tidak memberi tindakan yang tegas
saat anak atau muridnya berbuat curang, atau malah justru memberi contoh
dengan melakukan kecurangan dihadapan anak atau murid di sekolah.
9. Kurang percaya diri. Saat seseorang merasa dirinya tidak mampu bersaing
dengan orang lain, maka tidak jarang ia akan melakukan kecurangan untuk
menutupi kekurangannya.
10. Sikap bergantung kepada orang lain dan malas menerima tanggung jawab.
11. Tidak qanaah dan ridha dengan pemberian Allah.
12. Tidak adanya sistem hukum yang efektif untuk membuat jera para pelaku
kecurangan.
13. Lalai dari mengingat kematian. Ini adalah faktor penyebab seluruh
perbuatan maksiat dan terus-menerus dalam melakukannya.
[21]
D.
Pentingnya Menjaga Kejujuran Dalam Berdagang
Perdagangan adalah kegiatan jual beli yang telah berabad-abad yang lalu
dikerjakan oleh nenek moyang kita dahulu. Menjajakan barang dagangan ke
seluruh penjuru negeri untuk mencari rejeki yang halal. Dahulu orang
harus berjalan bermil-mil jauhnya membawa kuda, keledai dan unta
sebagai alat transportasinya mengangkut barang dagangan. Semangat yang
gigih untuk menghidupi keluarga menghilangkan penat dan lelah akibat
perjalanan jauh yang harus ditempuh.
Kini di zaman yang canggih dan lebih modern, kita tidak perlu lagi
jalan bermil-mil jauhnya. Tidak perlu menghabiskan waktu berbulan-bulan
lamanya untuk menawarkan barang dagangan ke seluruh penjuru negeri.
Berbagai macam kemudahan telah banyak kita ketahui untuk memudahkan dan
melancarkan perdagangan. Antara lain adanya transportasi yang
menggunakan mesin seperti mobil, pesawat, kapal yang tentunya lebih
mempercepat pengantaran. Selain itu dukungan alat komunikasi seperti
telepon dan handphone yang mempersingkat jarak untuk harus bertatap
muka.
Dalam hal perdagangan, kita tidak boleh asal dalam melakukannya. Ada
aturan-aturan yang berlaku yang harus dipatuhi agar terhindar dari
penipuan dan yang paling penting adalah terhindar dari azab Allah SWT.
Islam telah mengajarkan bagaimana hukum dan rukunnya jual beli atau
perdagangan. Etimologi dari jual beli berarti pertukaran secara mutlak.
Allah SWT secara tegas memerintahkan agar manusia mengikuti jalan
perdagangan. Hal ini dimaksudkan agar manusia terhindar dari hal yang
bathil dari pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia.
Di dalam Al Quran Surah An Nisa ayat ke 29 tercantumkan :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu......”
Itulah mengapa pentingnya menjaga kejujuran dalam perdagangan. Tidak
sedikit pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang. Salah satu
contoh besar yang disebutkan pula dalam Al Quran adalah “ Mengurangi
Kadar Timbangan”. Ini merupakan sebuah kecurangan dan penipuan yang
dilakukan pedagang untuk meraup keuntungan yang besar.
Padahal jika timbangan yang mereka pakai itu jujur, tentunya apa yang
mereka perdagangkan akan lebih berkah dan mendatangkan keuntungan yang
berkelanjutan. Bukankah yang Anda inginkan adalah keuntungan yang
berkelanjutan dan bukannya keuntungan besar yang hanya datang sekali
saja.
Telah disebutkan dalam Al Quran Surat Al-An’am ayat 152 yang mana Allah
SWT telah memerintahkan kita untuk berlaku jujur dan adil dalam
berdagang dengan mencukupkan takaran dan tidak mengurangi kadar
timbangan.
Mengurangi kadar timbangan bermakna luas yang menyinggung kejujuran
seseorang dalam berjualan. Termasuk misalnya tidak menjual barang rusak
kepada pembeli dengan mengatakan bahwa barang tersebut bagus. Tidak menjual
barang yang tidak layak konsumsi dan berbagai macam hal yang menyangkut
kejujuran dalam berdagang.
Kejujuran sangat penting dalam perdagangan, konsumen atau pelanggan tidak
dirugikan dan penjual juga mendapatkan keuntungan secara sah atau halal.
Prinsipnya adalah sama sama diuntungkan. Konsumen mendapatkan apa yang
mereka butuhkan sesuai dengan haknya. Penjual juga mendapatkan keuntungan
yang sesuai dan berkah.
[22]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Jual-beli merupakan pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling
rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti
barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan.
2. Hukum melakukan jual beli adalah dibolehkan. Hal ini sebagaimana yang
telah terdapat hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’.
3. Adapun rukun dalam jual-beli adalah adanya penjual dan pembeli, barang
yang akan dijual, dan ijab-qabul. Semua rukun tersebut disertai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
4. Begitu banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pedagang
curang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar abgi dirinya sendiri.
5. Allah mengancam memberikan azab yang sangat pedih kepada orang-orang
yang suka melakukan tindak kecurangan. Bahkan Rasulullah sendiri mengatakan
orang yang berbuat curang bukanlah dari golongan beliau dan Allah akan
menimpakan musibah kepada orang yang suka berbuat curang.
6. Hendaklah kepada pada penjual dan pembeli untuk berlaku jujur dalam
melakukan jual beli, karena apabila disertai dengan kejujuran maka pasti
akan datang keberkatan dari Allah SWT, dan jika disertai dengan kecurangan
pasti akan mendatangkan murka Allah SWT.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentulah terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik dan saran supaya
makalah ini lebih baik ke depan. Dan penulis juga mengharapkan kepada
pembaca untuk tidak hanya terfokus pada makalah yang telah penulis susun
ini, khususnya tentang ancaman bagi orang yang berbuat curang dalam jual
beli. Hendaklah untuk mencari sumber lain supaya pengetahuan kita terus
bertambah.
[1]
AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia,
(Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1984), hal. 135
[2]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,
(Jakartta : Pustaka Setia, 2002), hal. 8
[3]
Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Juz I, (Semarang :
Toha Putra, t.th), hal. 239.
[4]
Al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, Juz III, (Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiah, t.th), hal. 3.
[5]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut : Dar
al-Fikr, t.th), hal. 92-93.
[6]
Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar al-Kharqy, Juz
III, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th), hal. 396.
[7]
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar
Grafida, 2000), hal.129.
[8]
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dzhilalil Qur’an, Jilid I,
(Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hal. 383.
[9]
A. Musthafa al-Maraghi, Terj. Tafsir al-Maraghi, Juz V,
(Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 24-25.
[10]
Munzahry, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1992), hal. 18.
[11]
Ibid
., hal. 19
[12]
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 1990), hal. 141.
[13]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah,(Semarang : Pustaka Rizki Putra,
1997), hal. 26.
[14]
Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., hal. 142
[15]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy., op.cit., hal. 27-28
[16]
Ibid
., hal. 28-30
[17]
Sudarsono, Aspek Pengamalan Ibadah dalam Agama Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 34
[18]
Rizki Akbar, Problematika dalam Jual Beli, (Jakarta :
Pustaka Adina, 2009), hal. 58
[19]
Abdur Razaq, Kecurangan-Kecurangan dalam Mu’amalah, (Bogor
: Sefa Persada, 2009), hal. 28-29
[20]
Rizki Akbar, op.cit, hal. 87-89
[21]
Soehaepi, Dosa-Dosa dalam Keseharian Kita, (Solo :
Pustaka Arafah, 2012), hal. 21-22
[22]
Ahmad Jefriyanto, Berkah Kejujuran dalam Bisnis,
(Yogyakarta : Aditya Media, 2007), hal. 7-8
No comments