Breaking News

Ancaman Hukum Terhadap Pelaku Curang Dalam Jual Beli Menurut Hukum Islam


Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur agama Islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak diperbolehkan.

Melihat fenomena yang sekarang ini, begitu banyak terlihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang yang tidak bertanggung jawab. Mereka melakukan kecurangan-kecurangan untuk memperoleh keuntungan yang lebih untuk dirinya sendiri tanpa mau memikirkan kerugian yang diderita oleh orang lain.

Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas sedikit tentang ancaman terhadap orang yang berbuat curang. Semoga bermanfaat...

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penjelasan tentang jual beli ?
2. Bagaimanakah bentuk kecurangan yang sering terjadi dalam jual beli ?
3. Bagaimanakah larangan dan ancaman bagi orang yang melakukan tindak kecurangan ?

Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang jual beli.
2. Untuk mengetahui bentuk kecurangan yang sering terjadi dalam jual beli.
3. Untuk mengetahui larangan dan ancaman bagi orang yang melakukan tindak kecurangan.


GAMBARAN UMUM TENTANG JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli
Setiap individu pasti mengalami atau melakukan transaksi yang berupa jual-beli, dari sinilah perlu penulis kemukakan definisi dari jual-beli. Pengertian jual-beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli. Dalam istilah Islam, kata jual-beli mengandung satu pengertian, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu kata “باع”, yang jama’nya adalah “بيوع” dan konjungsinya adalah “ باع – يبيع - بيعاً” yang berarti menjual. [1]

M. Ali Hasan dalam bukunya Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (fiqh Islam) mengemukakan bahwa pengertian jual-beli menurut bahasa, yaitu jual-beli (البيع) artinya “menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain)”. Kata البيع dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata الشراء (beli). Dengan demikian kata البيع berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”. [2]

Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar, juga mendefinisikan jual-beli (بيع) secara bahasa, sebagai berikut :
إعطاء شيئ في مقابلة شيئ
Artinya : “ Memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu)”. [3]
Adapun pengertian jual-beli menurut istilah fiqh adalah:

1. An-Nawawi mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال او نحوه
Artinya : “ Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”. [4]

2. Sayyid Sabiq mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال على سبيل التراضي
Artinya: “ Saling menukar harta dengan harta stas dasar suka sama suka”. [5]

3. Ibnu Qudamah mendefinisikan :
مقابلة المال بالمال تمليكا و تملّكا
Artinya : “ Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”. [6]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa jual-beli merupakan sarana tempat bertemunya antara penjual dan pembeli yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sehingga keduanya dapat saling memperoleh kebutuhannya secara sah. Dengan demikian jual-beli juga menciptakan حبل من الناس(hubungan antara manusia) di muka bumi ini dengan alasan agar keduanya saling mengenal satu sama lain, sehingga interaksi sosial dapat terlaksana dengan baik, karena manusia merupakan makhluk sosial.

Dengan demikian, jual-beli merupakan pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan di sini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata uang lainnya. [7]

B. Dalil Hukum Jual Beli
Jual-beli yang disyari’atkan Islam, mempunyai dasar-dasar hukum sebagai berikut :
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah SWT. terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 275:

Artinya : “...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....”

Dari ayat tersebut di atas, sudah jelas bahwa Allah SWT menghalalkan jual-beli dan tidak menghendaki adanya riba di masyarakat, karena Allah mengharamkan riba.

b. Firman Allah SWT. terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 29 :

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.”

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zilalil Qur’an mengemukakan bahwa Allah SWT. menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, karena tidak adanya unsur-unsur kepandaian, kesungguhan dan keadaan alamiah dalam jual-beli dan sebab-sebab lain yang menjadikan perniagaan pada dasarnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sedangkan, perbuatan riba pada dasarnya merusak kehidupan manusia, Islam telah mengatasi keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu dengan pengobatan yang nyata, tanpa menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial. [8]

Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi menyatakan bahwa, memakan harta dengan cara yang batil adalah mengambil tanpa keridhaan dari pemilik harta atau menafkahkan harta bukan pada hakiki yang bermanfaat, maka termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual-beli, riba dan menafkahkan harta pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal. Harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan harta itu menjadi miliknya. [9]

2. Sunnah
Agama Islam mensyari’atkan jual-beli dengan sah, terbukti adanya dasar yang terdapat dalam nash al-Qur’an sebagaimana telah diterangkan di muka. Selain nash al-Qur’an Nabi Muhammad saw, juga menyebutkan dalam haditsnya :
عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه ان النبيّ ص.م سئل : ايّ اكاسب اطيب ؟ قال عمل الرجل بيده و كل بيع مبرور (رواه البزا وصححه الحاكم)
Artinya : “Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. pernah ditanya oleh seseorang, usaha apakah yang paling baik ? Nabi menjawab: usaha manusia denga tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang halal”.

Hadits Nabi SAW. tersebut menerangkan bahwa manusia harus berusaha mencari rizkinya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Jika usahanya itu berupa jual-beli, maka jual-beli itu harus halal tanpa ada unsur penipuan.

سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن قتادة عن صالح ابي الخليل عن عبد الله بن الحرث رفعه الى حكيم بن حزام رضي الله عنهم قال : قال رسول الله ص.م البيعان بالخيار ما لم يتفرّقا او قال حتّى يتفرقا فإن صدقا و بيّنا بورك لهما في بيعهما و ان كتما و كذبا محقت بركة بيعهما (رواه البخاري)
Artinya : “Sulaiman bin Harbi menceritakan kepada kita Syu’bah dari Qatadah dari Sholih Abi Kholil dari Abdillah bin Harts Rafa’ah kepada Hakim bin Hizam r.a berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Dua orang yang berjual-beli menggunakan hak memilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan memberi keterangan (benar), niscaya keduanya diberi berkah dalam jual-belinya itu. Dan jika keduanya menyembunyikan (keadaan sebenarnya) dan berdusta, niscaya berkah keduanya itu dibinasakan”. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan transaksi jual-beli hendaklah jujur dan tidak boleh menyembunyikan apapun dari jual-beli tersebut dan tidak boleh berdusta. [10]

3. Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan beberapa ahli istihsan atau sejumlah mujtahid umat Islam setelah masa Rasulullah SAW, tentang hukum atau ketentuan beberapa masalah yang berkaitan dengan dengan syari’at atau suatu hal. Menurut pendapat ulama-ulama jumhur, ijma’ menempati tempat ketiga sebagai sumber hukum syari’at Islam, yaitu suatu permufakatan atau kesatuan pendapat para ahli muslim yang muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.
Adapun landasan ijma’ ummah tentang jual-beli yaitu ummat sepakat bahwa jual-beli dan penekanannya sudah berlaku sejak zaman Rasulullah SAW, perbuatan itu telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. [11]

C. S yarat dan Rukun Jual-Beli
Islam membolehkan umatnya untuk berjual-beli, oleh karena itu jual- beli haruslah sebagai sarana untuk saling mengenal antara satu sama lain sehingga hubungan muamalat yang baik dan jual-beli yang terjadi juga atas dasar suka sama suka. Sehingga penipuan dengan berbagai bentuknya tidak akan terjadi dalam jual-beli, yang akan merugikan salah satu pihak.

Dalam melakukan transaksi jual-beli harus mengetahui aturan-aturan dan batasan-batasan dalam bertransaksi, oleh karena itu penulis mencoba mengemukakan aturan-aturan tersebut dalam syarat dan rukun jual-beli yang terdapat kitab-kitab fiqh.

Adapun syarat dan rukun jual-beli secara garis besarnya meliputi :
1. Sighat
2. ‘Aqid
3. Ma’qud ‘alaih

Dalam suatu perbuatan jual-beli, ketiga rukun ini hendaklah dipenuhi, seandainya salah satunya tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual-beli. [12]

1. Sighat
Sighat adalah akad dari kedua belah pihak, baik dari penjual atau pembeli. Aqad merupakan niat akan perbuatan tertentu yang berlaku pada sebuah peristiwa tertentu. Menurut istilah fiqh akad disebut juga ijab qabul.

Menurut T.M. Hasby ash-Shiddieqy, akad menurut lughat ialah:
الربط : و هو جمع طرفي حبلين و يشدّ احدهما بالآخر حتى يتصلا فيصبح فواحدة.
Artinya : “Rabath (mengikat) yaitu: mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersanbung, lalu keduanya menjadi satu benda”. [13]

Adapun Akad menurut istilah adalah :
ارتباط الإيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت التراضي
Artinya: “Perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak”.

Sedangkan pengertian ijab-qabul itu sendiri adalah Ijab yaitu permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qabul yaitu jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya. [14]

Adapun ijab qabul, memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Keadaan ijab qabul satu sama lainnya harus di satu tempat tanpa ada pemisah yang merusak.

b. Ada kesepakatan atau kemufakatan ijab qabul pada barang yang saling ada kerelaan diantara mereka, berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika keduanya tidak sepakat dalam jual-beli atau aqad, maka dinyatakan kesepakatan maka jual-beli itu sah.

c. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi), seperti perkataan penjual “aku rela menjual” dan perkataan pembeli “aku telah terima”, atau masa sekarang (mudhari’) jika yang diinginkan pada waktu itu juga. Jika yang diinginkan masa yang akan datang dan semisalnya, maka hal itu merupakan janji untuk berakad dan janji tidaklah sebagai akad yang sah. Oleh karena itu tidak sah secara umum. [15]

Pada dasarnya ijab qabul itu tidak harus dilakukan dengan lisan, namun akad dalam jual-beli dapat juga dilakukan dengan sesuatu yang menunjukkan pemilikan dan pemahaman dengan apa yang dimaksud. Dengan kata lain, bahwa ijab qabul tersebut tidak harus dengan kata-kata yamg jelas, akan tetapi yang dinamakan dalam ijab qabul itu dapat juga dengan maksud dan makna yang dilontarkan antara penjual dan pembeli dengan sindiran atau kata kiasan.

2. Aqid
Aqid adalah orang yang melakukan aqad yaitu penjual dan pembeli. Adapun syarat-syarat aqid adalah :

a. Baligh
Maksudnya adalah anak yang masih di bawah umur, tidak cakap untuk melakukan transaksi jual-beli, karena dikhawatirkan akan terjadi penipuan.

b. Berakal
Maksudnya adalah bisa membedakan, supaya tidak mudah terkicuh.

c. Tidak dipaksa.
Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi harus dilakukan atas dasar suka sama suka.
انما البيع عن التراضي
Artinya: “Yang dinamakan berjual-beli ialah jika dilakukan dengan sama rela”.

d. Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang mubazir itu ditangan walinya. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ ayat 5 :

Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah swt sebagai pokok kehidupan).(QS. An-Nisa’: 5)

e. Jelas barangnya.
Barang yang diperjual-belikan oleh penjual dan pembeli dapat diketahui dengan jelas zatnya, bentuknya maupun sifatnya sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak yang mengadakan jual-beli, juga tidak terjadi jual-beli gharar, karena hal itu adalah dilarang oleh agama Islam.

3. Ma’qud ‘Alaih
Adalah barang yang menjadi obyek jual-beli harus mempunyai beberapa syarat yaitu sebaai berikut :
a. Keadaannya suci. Maksudnya adalah Islam melarang menjual-belikan benda yang najis.
b. Memiliki manfaat.
c. Barang sebagai obyek jual-beli dapat diserahkan.
d. Barang itu kepunyaan orang yang menjual. [16]

D. Hikmah dari Pelaksanaan Jual Beli
Allah SWT mensyari’atkan jual beli sebagai bagian dari bentuk ta’awun (saling menolong) antar sesama manusia, juga sebagai pemberian keleluasaan, karena manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, papan dsb. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup.

Tak seorangpun dapat memenuhi seluruh hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lain dalam bentuk saling tukar barang. Manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka akan mudah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya. Berikut ini adalah hikmah jual beli,antara lain :

1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.

2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.

3. Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan menerima barang.

4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara bathil.

5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt. Bahkan 90% sumber rezeki berputar dalam aktifitas perdagangan.

6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. [17]

ANCAMAN BAGI ORANG YANG CURANG DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM

A. Kecurangan Dalam Jual Beli
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hari nuraninya atau, orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha. Kecurangan menyebabkan orang menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita.
Setiap orang tentu tidak ingin dicurangi ketika melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi pada umumnya dari sekian banyak pedagang yang berjualan tentu ada saja yang melakukan kecurangan, baik yang secara sengaja maupun tidak sengaja. Jika kita menjadi korban tentu kita akan dirugikan, baik secara materiil maupun moril.

Beberapa bentuk kecurangan yang biasa terjadi dalam jual beli adalah seperti sebagai berikut di bawah ini :
1. Mengurangi berat timbangan.
2. Menjual barang jelek tanpa memberitahukan kejelekan barang tersebut.
3. Mencoba produk yang dijual tanpa seizin penjual.
4. Mengurangi uang kembalian.
5. Memberi potongan harga barang yang telah dinaikkan dulu harganya.
6. Menjual barang palsu.
7. Menjual barang yang tidak sah seperti najis, barang curia, dan lain sebagainya.
8. Menjual makanan dan minuman yang bisa menyebabkan penyakit.

Dari waktu ke waktu tentu akan ada metode / teknik curang lainnya dalam kegiatan jual beli masyarakat. Yang harus kita lakukan adalah selalu waspada dan berhati-hati dalam jual beli agar kita tidak menjadi korban dari tindakan curang dari orang yang menjual barang kepada kita maupun orang yang membeli barang dagangan kita. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan perlindungan Allah SWT dari segala kecurangan jual beli kita sehari-hari. [18]

Selain beberapa hal di atas, perlu kita ketahui pula kecurangan yang terjadi dalam jual beli dan menyebabkan jual beli tersebut terlarang. Jual beli terlarang tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Jual beli gharar. Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan dan penghianatan.

2. Jual beli mulaqih (الملاقيح). Yaitu jual beli di mana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina.

3. Jual beli mudhamin (المضامين), yaitu jual beli hewan yang masih dalam perut induknya,

4. Jual beli muhaqolah (المحاقلة), yaitu jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan.

5. Jual beli munabadzah (المنابذة), yaitu tukar menukar kurma basah dengan kurma kering dan tukar menukar anggur basah dengan anggur kering dengan menggunakan alat ukur takaran.

6. Jual beli mukhabarah (المخابرة), yaitu muamalah dengan penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut.

7. Jual beli tsunaya (الثنيا), yaitu jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas.

8. Jual beli ‘asb al-fahl (عسب الفحل), yaitu memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak.

9. Jual beli mulamasah (الملامسة), yaitu jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau siang.

10. Jual beli munabadzah (المنابذة), yaitu jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli.

11. Jual beli ‘urban (العربان), yaitu jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.

12. Jual beli talqi rukban (الركبان), yaitu jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran.

13. Jual beli orang kota dengan orang desa (بيع حاضر لبلد), yaitu orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.

14. Jual beli musharrah (المصرة). Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih tinggi.

15. Jual beli shubrah (الصبرة). Yaitu jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam.

16. Jual beli najasy (النجش). Yaitu jual beli yang bersifat pura-pura di mana si pembeli menaikkan harga barang, bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi. [19]

B. Larangan dan Ancaman bagi Orang Yang Berbuat Curang
Berdagang adalah salah satu cara terbaik untuk untuk mengais rejeki. Jual beli sudah ada semenjak zaman dahulu karena jual beli memang salah satu kebutuhan manusia dalam hidup. Dengan jual beli kita dapat memiliki barang yang dimiliki oleh orang lain dengan cara yang halal. Namun, terkadang jual beli dimanfaatkan oleh salah satu pihak demi melahap keuntungan yang sebanyak-banyaknya, akibatnya pihak yang lain dirugikan, atau dalam kata lain ia didzalimi.

Betapa banyak orang-orang yang tertipu oleh setan. Mereka diletakkan oleh setan di jurang kebinasaan. Mereka digoda agar menempuh jalan yang tidak halal dalam harta orang lain dan hak-hak mereka. Hingga sebagian orang menganggap bahwasanya harta yang halal adalah harta yang ia miliki dengan cara apapun walaupun itu merupakan harta yang batil. Allah SWT mengingatkan dala QS. An-Nisa ayat 29 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Bentuk kecurangan jual beli yang sangat tersebar adalah curang dalam timbangan dan takaran. Praktek ini masih banyak dilakukan oleh sebagian orang. Dahulu Allah mengadzab kaum Nabi Syuaib, selain karena mereka kufur kepada Allah, mereka juga suka berlaku curang dalam timbangan dan takaran.

Allah subhanahu wata’ala mengancam orang yang berlaku curang dalam timbangan dan takaran dalam firmannya QS. Al-Muthaffifin ayat 1-6.

Artinya : “ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. ” (QS. Al-Muthaffifin: 1-6)

Yang dimaksud dengan التطفيف (At-Tathfif) di sini adalah berbuat curang dalam timbangan dan takaran, entah itu dengan cara menambahnya jika ia membeli dari orang lain, atau dengan menguranginya jika ia yang menjual kepada mereka. Orang yang melakukan praktek tersebut masuk ke dalam ancaman Allah pada ayat di atas, karena ia telah mendzalimi orang lain. Ia telah mengambil hak orang lain dengan cara tidak benar, sehingga ada barang haram di dalam hartanya, dan ia akan makan dari harta haram tersebut sehingga ada darah ataupun daging dalam tubuhnya yang tumbuh dari harta haram. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya : “Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).

Oleh karena itu, Allah memerintahkan hambanya untuk berlaku adil dalam timbangan dan takaran. Sebagaimana dalam QS. Al-Isra ayat 35 :

Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’: 35)

Terkait larangan berlaku curang ini, Rasulullah pernah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa berbuat curang maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim).

Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa ketika Rasulullah melewati sebuah pasar, beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanannya. Bisa jadi seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah. Bahan makanan yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namun, ketika memasukkan jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan tersebut, beliau dapatkan ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan makanan itu ada yang cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah agar hanya bagian yang bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah pun menegur perbuatan tersebut dan mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti menipu pembeli, yang akan menyangka bahwa seluruh bahan makananan itu bagus.Seharusnya seorang mukmin menerangkan keadaan barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila barang tersebut memiliki cacat ataupun aib.

Hadis di atas menunjukkan bahwa haramnya menyembunyikan barang yang cacat dan wajibnya menerangkan yang cacat itu kepada pembeli. Perkataan “ maka dia bukan termasuk dari golongan kami” menunjukkan haramnya menipu dan itu telah menjadi ijma’ ulama.

Dalam hadis lain yang Rasulullah SAW pun bersabda :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ.
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain” (HR. Nasa’i)

Hadis tersebut dapat kita pahami bahwa Rasulullah SAW melarang kita untuk menawar barang untuk mengecoh pembeli yang lain, maksudnya adalah menawar yang dimaksud bukan untuk membeli tetapi mempengaruhi pembeli yang lain supaya pembeli itu membeli barang tersebut dengan harga tinggi yang ditawarkannya. Orang yang tidak berminat untuk membeli dan tidak tertarik hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang berminat untuk tawar menawar sesuai harga yang diinginkan. Sedangkan dalam hadits ini jelas dilarang, dimana ada perhitungan untuk menguntungkan penjual ataupun adanya kesepakatan antara si penjual dengan beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya agar pembeli yang datang menawar dengan harga yang lebih tinggi, tentunya ini haram karena ada unsur penipuan dan mengambil harta dengan cara batil.

Rasulullah SAW mengancam kepada orang yang suka berbuat curang akan ditimpa beberapa musibah. Sebagaimana dalam hadistnya :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ، إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ، وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ ، وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا... )أخرجه ابن ماجه و غيره(
Artinya : ”…Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka. Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan….” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya)

Maksudnya adalah mereka ditimpa kekeringan dan paceklik, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menahan hujan dari mereka (Dia tidak menurunkan hujan untuk mereka), dan jika bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan maka Allah akan mengirimkan musibah kepada mereka berupa serangga, ulat dan hama penyakit lain yang merusak tanaman. Dan jika tanaman itu berbuah maka buahnya tidak ada rasa manis dan segar. Betapa banyak petani yang melakukan kecurangan didapati buah-buahannya tidak memiliki rasa. [20]

Itulah beberapa dalil tentang larangan ancaman berbuat curang daalm melakukan jual beli dan bermuamalah sesama manusia. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan tersebut.

C. Faktor Penyebab Terjadinya Kecurangan
Perbuatan curang memang biasanya tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor dan pemicu seseorang melakukan perbuatan tersebut. Di antaranya:
1. Lemahnya iman, sedikitnya rasa takut kepada Allah dan kurangnya kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan menyaksikan setiap perbuatannya sekecil apa pun.

2. Kebodohan sebagian orang tentang haramnya perbuatan curang, khususnya dalam bentuk-bentuk tertentu dan saat perbuatan tersebut sudah menjadi sistem ilegal dalam sebuah lembaga atau organisasi.

3. Ketiadaan ikhlas (niat karena Allah) dalam melakukan aktifitas, baik dalam menuntut ilmu, berniaga dan yang lainnya.

4. Ambisi mengumpulkan pundi-pundi harta kekayaan dengan berbagai macam cara. Yang penting untung besar, walaupun dengan menumpuk dosa-dosa yang kelak akan dituntut balas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak lagi mempedulikan apa yang didapatkannya, dari yang halal atau dari yang haram.” (HR Bukhari)

5. Lemahnya pengawasan orang-orang yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

6. Tidak adanya kesungguhan. Sebagian orang bermalas-malasan menyelesaikan tugas dan apa yang menjadi kewajibannya, saat semua itu harus ia pertanggung jawabkan, maka ia pun menutupinya dengan perbuatan curang. Seperti seorang murid yang malas belajar, saat datang masa ujian, ia pun berusaha berbuat curang agar bisa lulus ujian.

7. Berteman dengan orang-orang yang suka berbuat curang dan selalu menuruti ajakan setan untuk berbuat curang.

8. Lemahnya pendidikan yang ditanamkan sejak kecil di rumah atau di sekolah. Sering kali orang tua atau guru tidak memberi tindakan yang tegas saat anak atau muridnya berbuat curang, atau malah justru memberi contoh dengan melakukan kecurangan dihadapan anak atau murid di sekolah.

9. Kurang percaya diri. Saat seseorang merasa dirinya tidak mampu bersaing dengan orang lain, maka tidak jarang ia akan melakukan kecurangan untuk menutupi kekurangannya.

10. Sikap bergantung kepada orang lain dan malas menerima tanggung jawab.

11. Tidak qanaah dan ridha dengan pemberian Allah.

12. Tidak adanya sistem hukum yang efektif untuk membuat jera para pelaku kecurangan.

13. Lalai dari mengingat kematian. Ini adalah faktor penyebab seluruh perbuatan maksiat dan terus-menerus dalam melakukannya. [21]

D. Pentingnya Menjaga Kejujuran Dalam Berdagang
Perdagangan adalah kegiatan jual beli yang telah berabad-abad yang lalu dikerjakan oleh nenek moyang kita dahulu. Menjajakan barang dagangan ke seluruh penjuru negeri untuk mencari rejeki yang halal. Dahulu orang harus berjalan bermil-mil jauhnya membawa kuda, keledai dan unta sebagai alat transportasinya mengangkut barang dagangan. Semangat yang gigih untuk menghidupi keluarga menghilangkan penat dan lelah akibat perjalanan jauh yang harus ditempuh.

Kini di zaman yang canggih dan lebih modern, kita tidak perlu lagi jalan bermil-mil jauhnya. Tidak perlu menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya untuk menawarkan barang dagangan ke seluruh penjuru negeri. Berbagai macam kemudahan telah banyak kita ketahui untuk memudahkan dan melancarkan perdagangan. Antara lain adanya transportasi yang menggunakan mesin seperti mobil, pesawat, kapal yang tentunya lebih mempercepat pengantaran. Selain itu dukungan alat komunikasi seperti telepon dan handphone yang mempersingkat jarak untuk harus bertatap muka.

Dalam hal perdagangan, kita tidak boleh asal dalam melakukannya. Ada aturan-aturan yang berlaku yang harus dipatuhi agar terhindar dari penipuan dan yang paling penting adalah terhindar dari azab Allah SWT.

Islam telah mengajarkan bagaimana hukum dan rukunnya jual beli atau perdagangan. Etimologi dari jual beli berarti pertukaran secara mutlak. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar manusia mengikuti jalan perdagangan. Hal ini dimaksudkan agar manusia terhindar dari hal yang bathil dari pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia.

Di dalam Al Quran Surah An Nisa ayat ke 29 tercantumkan :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu......”

Itulah mengapa pentingnya menjaga kejujuran dalam perdagangan. Tidak sedikit pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang. Salah satu contoh besar yang disebutkan pula dalam Al Quran adalah “ Mengurangi Kadar Timbangan”. Ini merupakan sebuah kecurangan dan penipuan yang dilakukan pedagang untuk meraup keuntungan yang besar.

Padahal jika timbangan yang mereka pakai itu jujur, tentunya apa yang mereka perdagangkan akan lebih berkah dan mendatangkan keuntungan yang berkelanjutan. Bukankah yang Anda inginkan adalah keuntungan yang berkelanjutan dan bukannya keuntungan besar yang hanya datang sekali saja.

Telah disebutkan dalam Al Quran Surat Al-An’am ayat 152 yang mana Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berlaku jujur dan adil dalam berdagang dengan mencukupkan takaran dan tidak mengurangi kadar timbangan.

Mengurangi kadar timbangan bermakna luas yang menyinggung kejujuran seseorang dalam berjualan. Termasuk misalnya tidak menjual barang rusak kepada pembeli dengan mengatakan bahwa barang tersebut bagus. Tidak menjual barang yang tidak layak konsumsi dan berbagai macam hal yang menyangkut kejujuran dalam berdagang.

Kejujuran sangat penting dalam perdagangan, konsumen atau pelanggan tidak dirugikan dan penjual juga mendapatkan keuntungan secara sah atau halal. Prinsipnya adalah sama sama diuntungkan. Konsumen mendapatkan apa yang mereka butuhkan sesuai dengan haknya. Penjual juga mendapatkan keuntungan yang sesuai dan berkah. [22]


PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Jual-beli merupakan pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan.

2. Hukum melakukan jual beli adalah dibolehkan. Hal ini sebagaimana yang telah terdapat hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’.

3. Adapun rukun dalam jual-beli adalah adanya penjual dan pembeli, barang yang akan dijual, dan ijab-qabul. Semua rukun tersebut disertai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

4. Begitu banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pedagang curang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar abgi dirinya sendiri.

5. Allah mengancam memberikan azab yang sangat pedih kepada orang-orang yang suka melakukan tindak kecurangan. Bahkan Rasulullah sendiri mengatakan orang yang berbuat curang bukanlah dari golongan beliau dan Allah akan menimpakan musibah kepada orang yang suka berbuat curang.

6. Hendaklah kepada pada penjual dan pembeli untuk berlaku jujur dalam melakukan jual beli, karena apabila disertai dengan kejujuran maka pasti akan datang keberkatan dari Allah SWT, dan jika disertai dengan kecurangan pasti akan mendatangkan murka Allah SWT.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentulah terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik dan saran supaya makalah ini lebih baik ke depan. Dan penulis juga mengharapkan kepada pembaca untuk tidak hanya terfokus pada makalah yang telah penulis susun ini, khususnya tentang ancaman bagi orang yang berbuat curang dalam jual beli. Hendaklah untuk mencari sumber lain supaya pengetahuan kita terus bertambah.


[1] AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1984), hal. 135
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakartta : Pustaka Setia, 2002), hal. 8
[3] Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Juz I, (Semarang : Toha Putra, t.th), hal. 239.
[4] Al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, Juz III, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th), hal. 3.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), hal. 92-93.
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar al-Kharqy, Juz III, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th), hal. 396.
[7] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafida, 2000), hal.129.
[8] Sayyid Quthb, Tafsir fi Dzhilalil Qur’an, Jilid I, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hal. 383.
[9] A. Musthafa al-Maraghi, Terj. Tafsir al-Maraghi, Juz V, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 24-25.
[10] Munzahry, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hal. 18.
[11] Ibid ., hal. 19
[12] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990), hal. 141.
[13] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah,(Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 26.
[14] Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., hal. 142
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy., op.cit., hal. 27-28
[16] Ibid ., hal. 28-30
[17] Sudarsono, Aspek Pengamalan Ibadah dalam Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 34
[18] Rizki Akbar, Problematika dalam Jual Beli, (Jakarta : Pustaka Adina, 2009), hal. 58
[19] Abdur Razaq, Kecurangan-Kecurangan dalam Mu’amalah, (Bogor : Sefa Persada, 2009), hal. 28-29
[20] Rizki Akbar, op.cit, hal. 87-89
[21] Soehaepi, Dosa-Dosa dalam Keseharian Kita, (Solo : Pustaka Arafah, 2012), hal. 21-22
[22] Ahmad Jefriyanto, Berkah Kejujuran dalam Bisnis, (Yogyakarta : Aditya Media, 2007), hal. 7-8

No comments