Breaking News

Makalah Istishhab Dalam Ushul Fiqh



Dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-quran dan As-sunah para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menetapkan suatu hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Diantaranya : Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana . Dari sekian banyak metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya oleh ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para ulama banyak mengemukakan kedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum yang tidak ada nasnya dalam al Quran maupun Hadist.
Pada kesempatan kali ini In Sya Allah kami akan membahas tentang Istishhab......

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari permasalahan Istishab yaitu :
1. Bagaimanakah pengertian istishhab ?
2. Jelaskan klasifikasi istishhab ?
3. Bagaimanakah kehujjahan istishhab dalam lintas mazhab ?

Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah kami susun, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan pengertian istishhab.
2. Menjelaskan klasifikasi istishhab.
3. Menjelaskan kehujjahan istishhab dalam lintas mazhab.



PEMBAHASAN


A. Pengertian Istishhab
Istishab dalam bahasa berasal dari kata shuhbah صُحْبَةٌ, artinya menemani atau menyertai, dalam artian "menuntut kebersamaan" طَلَبُ الْمُصَاحَبَةِ atau “terus menerus bersama” اِسْتِمْرَارُالْمُصَاحَبَةُ sebagaimana yang lazim dipakai oleh para ahli bahasa dengan mengatakan :
كُلُّ شَيْئٍ لاَزَمَ شَيْئًا فَقَدِ اسْتَصْحَبَهُ
“Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”

Sedang menurut istilah, ditemukan beberapa dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah :
1. Imam Al Asnawiy :
اَنَّ الْإِسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ الْحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الْأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغَيُّرِ
Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut . [1]

2. Imam Ibnu Qayyim :
اَنَّ الْإِسْتِصْحَابَ اِسْتِدَامَةُ اِثْبَاتِ مَا كَانَ ثَابِتًا اَوْ نَفْيَ مُنْتَفِيًا حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلُ عَلَى تَغَيُّرِ الْحَالَةِ
Istishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan segala perkara yang memang tidak ditemukan adanya dalil yang bisa merubah kedudukan berlakunya ketetapan hukum tersebut . [2]

3. Imam Asy-Syaukani :
اَلْاِسْتِصْحَابُ هُوَ بَقَاءُ اْلاَمْرِ مَا لَمْ يُوْجَدْ مَا يُغَيِّرُهُ
”Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.”
Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”

4. Ibnu Hazm :
اَلْاِسْتِصْحَابُ هُوَ بَقَاءُ حُكْمِ الْأَصْلِ الثَّابِتِ بِالنُّصُوْصِ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ مِنْهَا عَلَى التَّغْيِيْرِ
”Tetapnya hukum asal yang ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang merubahnya “ [3]

Dari definisi yang telah disebutkan dapat kita ambil kesimpulan bahwa istishhab adalah menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.

Oleh karena itu, istishhab adalah pemberian hukum tentang ada tidaknya sesuatu di masa sekarang atau akan datang, berdasarkan ada tidaknya pada masa lampau, lantaran tidak adanya dalil yang menunjukkan indikasi pembaruan.

Oleh karena itu, jika seorang mujtahid berhadapan dengan kasus kontrak atau pemeliharaan yang status hukumnya tidak ditemukan di dalam nash, baik al Quran maupun hadis atau tidak ditemukan dalil syara’ yang hukumnya bersifat mutlak, maka kontrak atau pemeliharaan tersebut hukumnya boleh (mubah). Begitu juga semua ciptaan Allah yang ada di dunia. Oleh karena itu, apabila tidak ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu tersebut hukumnya boleh (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan yang ada padanya sejak awal. Hal ini berdasarkan teori :

اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
“Asal segala sesuatu adalah kebolehan”

Akan tetapi jika seorang mujtahid sedang menghadapi suatu kasus hukum yang berkenaan dengan suatu binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu perbuatan, sedang ia tidak menemukan status hukumnya di dalam nash, maka status hukumnya mubah atau boleh, sebab asal segala sesuatu itu hukumnya adalah mubah atau boleh, selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada perubahan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :

Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk sekalian....”( Al Baqarah ayat 29)

Dengan demikian, Istishhab adalah tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah ditetapkan atau yang telah ada sejak awal sampai ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya, sebab istishhab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebab jika seorang mufti ditanya tentang suatu kasus yang sedang terjadi, maka ia diharuskan untuk memberika keputusan dengan menggunakan Al Qur’an, lalu Hadist, Ijma’, dan Qiyas. Jika ternyata tidak ditemukan, maka ia dituntut untuk memberikan keputusan dengan menggunakan teori istishhab, baik dalam masalah meniadakan dan menetapkan. Jika masih ada keraguan dalam meniadakan dan menetapkan, maka prinsip dasarnya adalah tetapnya hukum. Jika keraguan itu terdapat pada tetapnya hukum, maka prinsip dasarnya adalah tidak adanya ketetapan hukum. [4]

B. Klasifikasi Istishhab
Dari penjelasan defenisi Istishhab seperti di atas, para ahli ushul menyatakan bahwa teori istishhab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, diantaranya :

1. .اِسْتِصْحَابُ حُكْمٍ ثَابِتٍ بِالْإِجْمَاعِ فِى مَحَلِّ الْخِلَافِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ
(Istishhab Hukmin Tsabitin Bil Ijma’i Fi Mahalli Al Khilafi Bainal ‘Ulama)
Yaitu istishhab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus-kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh :

a. Kasus orang bertayammum, dalam pertengahan shalat melihat air.
Menurut Ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, karena keabsahan shalat ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut, sebagaimana kaidah ushul sebagai berikut :
اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ
Asal sesuatu itu merupakan suatu ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdasarkan keadaan semula, sampai ditemukan adanya ketetapan lain yang merubahnya. [5]


b. Kasus pengaduan suami tentang status istrinya yang tidak gadis lagi setelah ia menggaulinya.
Dalam kasus seperti ini, pengaduan suami tersebut tidak dapat diterima, kecuali ia bisa menunjukkan bukti yang konkrit. Sebab, status kegadisan seorang wanita itu merupakan bentuk asal yang tetap ia bawa sampai besar. Hal ini berarti kegadisannya diistishhabkan kepadanya sampai ia digauli oleh suaminya. Pengistishhaban seperti ini sesuai dengan kaidah seperti kasus bertayammum di atas.

c. Kasus orang yang pada awalnya memiliki wudhu’, lalu ia ragu-ragu.
Dalam kasus ini, hendaknya ia menetapkan hukum yang semula yaitu wudhu’. Sebab keragu-raguan atas batalnya wudhu’ tidak dapat merubah hukum yang ada sejak awal, yaitu berwudhu. Hal ini sesuai dengan kaidah :
مَا ثَبَتَ بِالْيَقِيْنِ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilang karena keragu-raguan.
2. اِسْتِصْحَابُ عَدَمِ الْاَصْلِيِّ الْمَعْلُوْمِ بِالْعَقْلِ فِى الْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
(Istishhab ‘Adam Ashliy Al Ma’lumi Bil ‘Aqli Fil Ahkam Asy Syar’iyyah)

Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan keterlanjutan status ketiadaan suatu dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. 
Contoh :
a. Kasus tuduhan A kepada B bahwa B mempunyai hutang kepada A, tetapi A tidak memiliki bukti konkrit.
Penyelesaian kasus seperti ini, harus dikembalikan kepada dasar awal, dimana B tidak mempunyai hutang kepada A, sebab dasar yang bisa memperkuat bahwa B mempunyai hutang kepada A tidak ada. Maka keputusan ini sesuai dengan teori :

اَلْاَصْلُ فِى الْاِنْسَانِ الْبَرَاءَةُ
Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan

اَلْاَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Hukum asal adalah terlepas dari tanggung jawab.

3. اِسْتِصْحَابُ حُكْمِ اِبَاحَةِ الْاَشْيَاءِ لِلْاَشْيَاءِ
(Istishhab hukm ibahah al asy-ya’i lil asy-yai’)

Yaitu menetapkan berlakunya hukum asal atas segala sesuatu.
Contoh :
Hukum kebolehan mengonsumsi semua jenis makanan dan minuman, selama tidak ada ketentuan hukum secara pasti dari syar’i. Hal ini sesuai dengan teori :

اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
Asal sesuatu adalah mubah atau boleh


4. اِسْتِصْحَابُ الْمَقْلُوْبِ
(istishhab maqlub/pembalikan)
Yaitu istishhab terhadap kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishhab pada bentuk-bentuk sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik.
Contoh :
Kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pada pertanyaan : “apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini....?”. Padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Lalu dijawab ia, “Benar, ia berada di sini kemarin”.

Berdasarkan hasil pengklasifikasian istishhab seperti itu, dapatlah ditetapkan bahwa dasar pijakan hukum dari teori istishhab adalah sebagai berikut :

اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ
Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdasrkan keadaan semula, sampai ditemukan adanya ketetapan lain yang merubahnya.

مَا ثَبَتَ بِالْيَقِيْنِ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilang karena keragu-raguan.

اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan


اَلْاَصْلُ فِى الْاِنْسَانِ الْبَرَاءَةُ
Asal yang ada pada manusia adalah itu adalah kebebasan.

اَلْاَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Hukum asal adalah terlepasnya dari tanggung jawab.

C. Kehujjahan Istishhab
Dalam menanggapi persoalan boleh dan tidaknya teori istishhab dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istimbathil hukm asy syar’iy. Para ahli hukum Islam berbeda-beda dalam memberi tanggapan sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, yaitu : [6]

1. Mayoritas ulama Mutakallimin seperti hasan Al bashry berpendapat bahwa istishhab secara mutlak tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istimbathil hukm asy syar’iy, sebab menentukan kepastian ada dan tidaknya hukum terdahulu harus bisa dibuktikan keberadaannya dengan suatu dalil.

2. Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, Dzahiriyyah berpendapat bahwa teori istishhab secara mutlak dapat djadikan sebagi hujjah dalam ber-istimbathil hukm asy syar’iy, selama belum ada dasar lain yang merubahnya.

3. Sebagian besar ulama mutaakhirin dari sebagian golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa teori istishhab bukan merupakan hujjah dalam menetapkan sesuatu yang tidak tetap, tetapi hanya melestarikan. Sebab istishhab hanya merupakan hujjah dari ketetapan yang sudah ada berdasarkan keadaan semula.

Dari ketiga pandangan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa teoriistishhab tetap saja dapat dijadikan hujjah dalam beristimbathil hukm asy syar’i, baik yang berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat dan lain-lain yang ada hubungannya dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori istishhab sebagai hujjah beristimbathil hukm asy syar’i, akan memberikan peluang yang sangat baik bagi para praktisi hukum di dalam mengerluarkan atau menetapkan fatwa-fatwa mereka secara mudah.


PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah membahas panjang lebar, dalam sebuah makalah pasti mempunyai kesimpulan berdasarkan pembahasan yang telah kita bahas. Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Istishhab adalah menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.

2. Teori istishhab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, diantaranya :

a. Istishhab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus-kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.

b. Kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan keterlanjutan status ketiadaan suatu dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya.

c. Menetapkan berlakunya hukum asal atas segala sesuatu.

d. Istishhab terhadap kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishhab pada bentuk-bentuk sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik.

3. Teori istishhab tetap saja dapat dijadikan hujjah dalam beristimbathil hukm asy syar’i, baik yang berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat dan lain-lain yang ada hubungannya dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori istishhab sebagai hujjah beristimbathil hukm asy syar’i, akan memberikan peluang yang sangat baik bagi para praktisi hukum di dalam mengerluarkan atau menetapkan fatwa-fatwa mereka secara mudah.

B. Saran
Pembahasan makalah di atas masih jauh dari kesempurnaan maka penulis berharap pada pembaca untuk kritik yang konstruktif demi menyempurnakan makalah yang kami buat dan penulis menyarankan untuk pembaca tidak hanya terpacu terhadap makalah yang kami telah buat demi memperluas wawasan tentang relevansi pembahasan haji qiran dalam mata kuliah Ushul Fiqh 3 ini, karena kami sadari makalah ini jauh dari kesempurnaan.



[1] Sa’ad Abdurrabbu, Muhammad, Buhuts Fi Adillatil Mukhtalifah ‘Indal Ushuliyyin, (Mesir : Darul Misry Al Islamiy) hal. 5
[2] Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqi’in, (Beirut : Darul Kutub, 1996 ) hal. 339
[4] M. Ma’shum Zainy al Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang : Darul Hikmah, 2008) hal. 121-123.
[5] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Al Fiqh, (Kairo : Maktabah Darul Qalam, 1978) hal. 47
[6] Wahbah Al Zuhaili, Ushul Al Fiqh, Juz 1, (Beirut : Darul Fikr, 1989) Hal. 18

No comments