Makalah Istihsan Dalam Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu
syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian,
ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih
tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu
sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul
Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan ( ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam
(sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan
kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma
dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri
yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah,
dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang pengertian Istihsan, kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab, Imam Syafi’i dan Istihsan, jenis-jenis Istihsan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian istihsan?
2. Bagaimana kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab?
3. Bagaimanakah hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan?
4. Bagaimanakah jenis-jenis istihsan?
Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian istihsan.
2. Menjelaskan kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab.
3. Menjelaskan hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan.
4. Menjelaskan jenis-jenis istihsan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berasal dari kata حَسَنَ yang berarti
baik atau indah, yang maksudnya adalah sesuatu yang di anggap baik atau
indah.
[1]
Adapun istihsan menurut istilah, Abu Hasan Al-Karkhi (mazhab
Hanafi) mendefinisikan bahwa:
الاِسْتِحْسَانُ هُوَ اَنَّهُ العُدُوْلُ بِالْمَسْاَلَةِ عَنْ حُكْمِ اَخَرَ
لِوَجْهِ اَقْوى منه
Istihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan
kepada sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang
dipandang lebih kuat atau lebih baik.
[2]
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby (mazhab Maliki) ialah
memilih meninggalkan dalil, mengambil rukhshah dengan hukum
sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu. Ia membagi Istihsan kepada empat macam,
yaitu :
1. Meninnggalkan dalil karena urf.
2. Meninggalkan dalil karena ijma’.
3. Meninggalkan dalil karena maslahat.
4. Meninggalakan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqat.
[3]
Dengan demikian, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyaskhafi (samar), atau dari dalil kulliy kepada hukum takhshish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid
mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
[4]
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status
hukumnya tidak ada, maka penyelesaiannya harus menggunakan dua sisi yang
kondratif, yaitu
1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.
2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak (khafi)
menghendaki adanya ketetapan hukum lain.
[5]
Berdasarkan pernyataan tersebut, pada diri mujtahid ada dalil yang di
anggap lebih mendahulukan sisi ketidaktampakan (khafi), sehingga
ia berpindah ke sisi yang nyata (jali/lahiriyyah). Begitu juga
jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia
menghendaki adanya dalil juz’iy dari hukum kulliy
tersebut dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’iynya. Maka hal
ini dalam syara’ dikenal dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan adalah penerapan perpindahan suatu bentuk hukum qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.
[6]
B.
Kehujjahan Istihsan dalam Lintas Mazhab
Para ahli hukum berbeda pandangan dalam menanggapi masalah sejauh manavaliditas kehujjahan istihsan dalam ber istimbathil hukm, sesuai dengan latar belakang keilmuan
masing-masing.
1.
Golongan Yang Menerima penggunakan Istihsan Sebagai Hujjah
Menurut Syarkishi, ulama yang menggunakan istihsan adalah dari
kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, meskipun mereka berbeda dalam
memberikan istilah dan rincian macamnya.
[7]
Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa istihsan dapat digunakan
sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.
Al-Taftazani menyatakan bahwa istihsan adalah salah satu
dari dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nash, atau kepada ijma’, atau
kepada darurat, atau kepada qiyas khafi.
[8]
a. Kehujjahan Istihsan Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil
yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki sering berfatwa
dengan menggunakan istihsan.
[9]
Fiqh Maliki merupakan fiqh yang sangat memperhatikan kaidab-kaidah umum(al-qawaid al-ammat) dan dasar-dasar yang universal(al-ushul al-kulliyat) karena kaidah-kaidah itu bersifatqath’i (tegas, pasti). Dan karena dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleb akal manusia)
yang memberi faedah qath’i menjadi tidak qath’i dengan sendirinya, maka cara sampai kepada qath’i adalah melalui induksi.
Dengan demikian maka kaidah istihsan dalam hubungannya
dengan dalil fiqh merupakan suatu kaidah yang qath’i yang
diambil pengertiannya dan sejumlah dalil nash yang saling dukung
mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu kaidah istihsan itu merupakan
kaidah umum yang ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dali
lafazh itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan
ditetapkan hukumnya dengan memasukkannya ke dalani kategori obyek yang
umuni itu, jika peristiwa itu merupakan masalah khusus.
[10]
b. Kehujjahan Istihsan Hanafiah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam
beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali
terdapat permasalahan menyangkut dengan istihsan.
[11]
Jadi, dari ketiga kalangan yang telah disebutkan, yang lebih banyak
menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah
yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik daripada
qiyas.
[12]
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bias menjadi
dalil syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang
berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas atau umum nash.
Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjah).
[13]
c. Kehujjahan istihsan Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui
adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu
Hazib. Akan tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan diakui
oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya
golongan Hanabilah.
[14]
d. Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum istihsan
Adapun dalil-dalil yang menjadikan pegangan ke tiga golongan pendapat ini
adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Firman Allah:
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu
tidak menyadarinya
.” (Q.S. Az-Zumar: 55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini
tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan
kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.”
(Q.S Az-Zumar: 17-18)
Menurut mereka, ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
2. Berdasarkan hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا
رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, mak a ia di sisi Allah adalah baik”.
(H.R. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3. Berdasarkan ijma’:
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah
yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam. tanpa ada penetapan harga
tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang
bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
[15]
2.
Golongan Yang Menolak Penggunaan Istihsan Sebagai Hujjah
Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jail kepada qiyas kafi atau beralih pada kepada adat kebiasaan, merupakan
masalah yang controversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang
kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’I termasuk ulama paling
keras menolak isithsan dalam bentuk ini.
Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip,
demikian pula ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah. Karena
mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka pun
menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam
posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas.
Di antara argument para ulama yang menolak istihsan (selain
argumen penolakan Syafi’i) adalah sebagai berikut.
a. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang
ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan dngan hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum
yang ditetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mujtahid adalah
hukum buatan manusia bukan hukum syar’i. hukum semacam ini didasarkan atas
kehendak dan selera nafsu. Umat Islam tidak disuruh mengikuti hukum dari
nafsu tersebut.
b. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari
hukum itu ditetapkan dengan nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan
Nabi. Ada pula isyarat dari nash untuk mengikuti hukum yang ditetapkan ulil amri itu adalah ijma’, yaitu ketetapan tentang hal
yang disepakati. Sedangkan dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk
menghubungkannya kepada nash yang ada yaitu melalui qiyas. Tidak
boleh beralih dari hukum yang dituntut oleh nash atau qiyas kepada
pendapat berdasarkan istihsan, karena yang demikian berarti
mendahulukan hukum yang ditetapkan akal ketimbang hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara’.
[16]
C.
Imam Al-Syafi’i dan Istihsan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam al-Syafi’i
merupakan salah seorang ulama yang menetang dengan keras istihsan
sebagai metode dalam beristinbath hukum. Penolakannya itu
tercermin dari perkataanya yang masyhur yaitu:
مَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
“Siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti
ia membuat hukum syaria’ah yang baru.”
Imam Syafi’i juga menyatakan dengan tegas bahwa, tidak seorang pun berhak
selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak
seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik ( istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan
adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan yang telah
digariskan sebelumnya.
[17]
Dari perkataan al-Syafi’i di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan istihsan adalah pendapat yang tidak bersandarkan
kepada keterangan (al-khabar) dari salah satu empat dalil
syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Apabila seorang
mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil dari al-khabar itu secara lafal dan juga tidak diambil dari
logikanya secara qiyas, serta tidak ada ijma’ pada hukum
tersebut, maka fatwa itu dinamakan istihsan, karena tidak
bersandarkan kepada al-khabar baik secara (langsung
kepada) nash maupun secara istinbath. Fatwa itu
hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan dengan
kecenderungan perasaannya, tanpa berdalil kepada suatu aI-khabar dan tanpa mempertanggungkan kepada al-khabar
itu.
Menurut Imam Syafi’i, haram bagi seseorang yang berpendapat dengan istihsan, apabila istihsan itu
bertentangan dengan al-khabar. Sedang, al-khabar yang terdiri atas Kitab dan sunnah adalah
sesuatu yang berharga yang diteliti maknanya oleh mujtahid untuk
memperoleh pengertiannya yang benar. Mujtahid itu bisa memahami al-khabar dengan qiyas dan seorang pun tidak
boleh mengemukakan pendapat kecuali dari segi ijtihad. Dan ijtihad
adalah upaya mencari kebenaran. Maka dengan demikian tidak boleh seseorang
mengatakan, aku menganggap baik, tanpa melakukan qiyas.
[18]
Seandainya, qiyas boleh diingkari, maka boleh juga bagi orang yang bukan
ahli ilmu berpendapat dengan sesuatu yang tidak ada nash dengan istihsan yang mereka gunakan. Padahal sebenarnya
pendapat yang tidak berdasarkan kepada al-khabar dan qiyas tidak sah karena tidak bersumber kepada al-Quran, sunnah,
dan qiyas. Banyak nash, baik a1-Quran maupun hadits yang
melarang berpendapat yang tidak disandarkan kepada al-khabar. Karena sesungguhnya apabila Nabi SAW menyuruh melakukan ijtihad,
maka ijtihad selalu berdasarkan suatu tuntutan. Dan menuntut sesuatu harus
berdasarkan dalil-dalil, sedangkan dalil-dalil itu adalah qiyas.
Sedangkan dalam istihsan tidak terdapat qiyas.
Selanjutnya Imam Syafi’i memberikan contoh dengan mengatakan,
bahwa seseorang yang tidak mengerti masalah harga seorang budak, maka tidak
boleh dimintakan menetapkan harga seorang budak laki-laki atau harga
seorang budak perempuan. Demikian juga kepada orang yang tidak mengerti
masalah upah pekerja tidak boleh dimintakan menetapkan upah pekerja. Sebab,
apabila ia menetapkan harga budak tidak sesuai dengan dalalat (petunjuk) harganya atau menetapkan upah pekerja tidak sesuai
dengan dalalat upahnya, berarti ia bentindak sembarangan.
Oleh karena itu, menurutnya lebih lanjut, menyimpulkan hal-hal yang kecil
seperti itu saja tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, apalagi masalah
halal dan haram yang merupakan ketentuan Allah maka tidak boleh ditetapkan
secara sembarangan dan secara istihsan. Yang demikian,
tidak lain daripada mencari enaknya saja (talazzuz).
Dengan demikian, maka selain Rasulullah tidak ada seorang pun yang berhak
mengemukakan pendapat kecuali berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan
di atas. Orang tidak boleh berpendapat dengan “apa yang dianggapnya baik”,
karena pendapat dengan apa yang dianggapnya baik” adalah sesuatu yang
dibuat-buatnya bukan berdasarkan tradisi atau contoh yang telah ada.
[19]
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwasa Imam Syafi’i
menghubungkan istihsan dengan semua fatwa yang tidak
disandarkan kepada al-khabar, baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan kepada nash dengan
cara qiyas. Atau dengan kata lain bahwa istihsan
merupakan metode istinbath hukum yang tidak berdasarkan kepada
al-Quran atau sunnah atau ijma’ atau atau qiyas.
Dengan demikian, maka tidak mengherankan kalau Imam Syafi’i menolakistihsan sebagai dalil syarak dan beliau mengkritik keras istihsan tersebut.
Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa argumen, diantaranya adalah:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)
?”(Q.S. Al-Qiyamah: 35)
Dalam menanggapi ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah tidak
membiarkan begitu saja kepada manusia dengan sia-sia, tetapi Allah
memerintahkan sesuatu kepadanya dan melarang sesuatu bahkan menjelaskan
kedudukan perintah dan larangan tersebut melalui ayat-ayat al-Qur’an lain
yang telah diturunkan kepada nabi-Nya secara qath’iy.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
(Q.S. An-Nisa: 59)
Dalam menanggapi maksud yang terdapat di dalam ayat ini, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa ayat ini berisi:
- Anjuran untuk selalu mengembalikan segala penyelesaiannya kepada
al-Qur’an dan hadits, sedang istihsan bukan al-Qur’an dan bukan pula
hadits.
- Tidak ada anjuran untuk mengembalikan persoalan kepada istihsan,
sehingga istihsan tidak dapat dianggap sebagai hujjah
(dalil) dalam menetapkan hukum syara’.
[20]
D.
Jenis-jenis Istihsan
Dengan adanya definisi dan pandangan para ahli tentang istihsan,
maka dapat dipahami bahwa istihsan dapat dilihat dari dua sisi,
yang masing-masing sisi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk:
1.
Dilihat Dari Sisi Hubungan Antara Qiyas Dan Istihsan
Dari sisi ini, istihsan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Qiyas Jali. Qiyas ini terbagi lagi menjadi 6, yaitu:
- Qiyas bi al-Ta’tsir, yaitu qiyas dengan efek penetapan
hukum yang lemah jika dibandingkan dengan istihsan sebagai
pembandingannya.
- Qiyas yang secara lahiriyyah lemah dan batal, tetapi jika
dilakukan penelitian secara cermat, ditemukan adanya keabsahan atau
ditemukan ada efek penetapan hukum, lantaran adanya hal-hal yang
tersembunyi yang menjadikannya sebagai landasan dari penetapan hukum
tersebut.
b.
Istihsan,
hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:
- Istihsan bi al-Ta’tsir, yaitu istihsan dengan efek
penetapan hukum yang lebih kuat, sekalipun tersembunyi.
- Istihsan yang secara lahiriyah terlihat efek penetapan hukumnya,
sekalipun jika dicermati ditemukan sisi ketidak-absahan yang tersembunyi.
[21]
Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus
persoalannya hanya terdapat pada efek penetapan hukumnya (ta’tsir
), bukan pada aspek lahir dan tersembunyinya, artinya jika efek penetapan
hukum qiyasnya itu sangat kuat, maka yang harus diperioritaskan
adalah istihsan.
Adapun contoh kasusnya adalah kasus air sisa minuman burung buas dan kasus
sujud Tilawah di tengah-tengah bacaan al-Qur’an dalam shalat.
2.
Dilihat Dari Sisi Pengambilan Dalilnya
Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya, hal ini diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu:
a. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafiy, yaitu penentuan hukum melalui
penelitian, karena dala kasus ini ditemukan dua dalil (baik al-Qur’an
maupun hadits) yang masing-masing dalil mempunyai konsekuwensi hukum
tersendiri, lalu penentuan hukumnya harus dilakukan pentarjihan pada dalil
yang dianggap lebih sesuai dengan persoalan tersebut, lantaran memiliki
dampak penetapan hukum (ta’tsir) yang lebih kuat. Jika demikian,
maka istihsan mengambil jalan memperioritaskan qiyas khafi berdasarkan nash.
[22]
Adapun contoh kasusnya dalam sisi ini adalah wakaf tanah pertanian dan
kasus perbedaan besar kecilnya harga barang yang belum diserah terimakan.
b. Istihsan bi al-Nash, yaitu penetapan hukum berdasarkan pada
prinsip dasar universal yang sudah ditangkap oleh dalil yang cakupannya kulliy, lantaran secara spesifik (juz’iyyah) terdapat
nash, baik al-Qur’an maupun hadits yang menyalahi kaidah umum tersebut.
Jika demikian, maka istihsan mengambil jalan memperioritaskan
ketetapan hukum spesifik daripada hukum kulliy berdasarkan dalil.
[23]
Adapun contohnya istihsan dengan al-Qur’an adalah kasus wasiat
kepada ahli waris dan kasus nazar mensedekahkan harta. Adapun contoh istihsan hadits yaitu kasus kelupaan orang berpuasa makan dan
minum, dan kasus transakasi pemesanan barang.
c. Istihsan bi al-Ijma’, yaitu aqwal atau fatwa sahabat
tentang suatu hukum dalam kasus-kasus kontemporer yang secara lahiriyyah
bertentangan dengan hasil penetapan qiyas atau kaidah kulliy, atau memang mereka bersikap tidak mengingkarinya jika hal
tersebut dilakukan oleh publik.
Contohnya adalah kasus kontrak kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.
d. Istihsan bi al-Dharuriy, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah
umum akan dipastikan berdampak munculnya kesulitan, dan untuk
menghilangkannya, diberlakukanlah pengecualian berdasarkan dharurat.
Contohnya adalah kasus pencucian sumur atau kamar mandi yang terkena najis
dengan menguras sebagian atau keseluruhan air.
e. Istihsan bi al-Mashlahah, yaitu penerapan dalil nash atau
kaidah umum akan berakibat munculnya kerugian (mafsadah) atau
tidak tercapainya kemashlahatan yang sudah menjadi tujuannya. Untuk
menghilangkannya, dipakailah istihsan dengan melakukan hukum yang
dimungkinkan dapat mewujudkan kemashlahatan.
Adapun contohnya adalah kasus pemberian zakat pada bani Hasyim, garis
keturunan Rasulullah.
f. Istihsan bi al-‘Urf, yaitu penerapan qiyas atau kaidah kulliy berdasarkan tradisi yang sudah berlaku secara umum, seperti
kasus penyediaan toilet, tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak
air yang dipergunakan dengan imbalan pembayaran tarif yang telah
ditentukan, dan ketentuan ini sudah berlangsung lama dari masa ke masa dan
tidak ada seorangpun dari ahli hukum islam yang mengingkarinya.
[24]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru
yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan
sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut
kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di
dalamnya.
2. Kalangan yang menerima istihsan sebagai hujjah terdiri
dari Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. Adapun kalangan yang menolak istihsan sebagai hujjah adalah terutama Imam Syafi’i,
mazhab Zhahiriyah, ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah.
3. Imam Syafi’i adalah seorang penentang keras istihsan. Beliau
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah pendapat
yang tidak bersandarkan kepada keterangan (al-khabar)
dari salah satu empat dalil syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’,
dan qiyas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah, melainkan menentang keras penggunaan istihsan
sebagai hujjah.
4. Istihsan jika dilihat dari sisinya terbagi 2, yaitu:
a. Dilihat dari sisi hubungan antara qiyas dan istihsan.
b. Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya yang terdiri dariistihsan bi al-qiyas al-khafiy, istihsan bi al-nash,istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-dharuriy, istihsan bi al-mashlahah, dan istihsan bi al-‘urf.
[1]
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut:
Maktabah Dar Al-Fikr, 1986), h. 136.
[2]
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), h. 106.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 402.
[4]
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo: Maktabah
Dar al-Qalam, 1978), h. 79.
[5]
Ma’shum zein, Ilmu Ushul…, h. 107.
[6]
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz II, Cet
Ke-III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). h. 737.
[7]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet ke 4, (Jakarta:
Prenada Media, 2008), h. 315.
[8]
al-Taftazani, Syarh al-Talwih ala Taudhih, Juz.
II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, t.t.), h. 82.
[9]
Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 112.
[10]
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994). h. 31-33.
[11]
Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
[12]
Amir Syarifuddin, Ushul…, h. 315.
[13]
Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiy
(Beirut: Dar al-Nahdhat al-‘Arabiyah, t.t.), h. 594.
[14]
Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
[15]
Saifuddin al-Hasan ‘Alim al-Amidi, al-Ahkam Fi Ushulil Ahkam, Juz: II, (Kairo: Muassisah
al-Halabiy, 1937), h. 892.
[16]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 315.
[17]
Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Mesir:
Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1940), h. 25.
[18]
Ibid.,
h. 503-505.
[19]
Ibid.,
h. 21.
[20]
Wahbah, Ushul…, h. 749.
[21]
Al-Badawiy, Abu Husain Ali bin Muhammad bin Husain, Ushul al-Bazdawiy, Juz: IV, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Islamiy, t.t.), h. 2-4.
[22]
Khallaf, Ilmu Ushul…, h. 81.
[23]
Wahbah, Ushul…, h.743.
[24]
Muhammad Mushthafa Syalbiy, Ushul Fiqh al-Islamiy,
(Beirut: Maktabah Dar al-Nadhlah al-Arabiyyah, 1986), h. 274-278.
No comments