Breaking News

Makalah Asas Prinsip Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat



Warisan adalah permasalahan yang sangat rumit dan riskan. Di mana pun dan kapan pun warisan menjadi persoalan yang sangat polemik. Tak seorang pun mampu berbuat adil. Kecendrungan manusia yang tamak dengan harta membuat keadilan mustahil ada dalam diri setiap manusia. Apalagi jika pembagian harta warisan tidak dibagi dengan cara syri’at Islam, hal ini akan menjerumuskan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan soal pembagian tersebut ke dalam kemungkaran. Tidak hanya saling bermusuhan, tetapi nyawa pun bisa menjadi taruhannya demi mendapatkan bagian yang besar. Bahkan, hubungan persaudaraan pun lambat laun hilang seiring berjalannya rasa iri dengki.

Harta warisan dalam sistem hukum adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

Dalam hukum waris adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris islam.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan. Berdasarkan ketentuan hukum adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan, dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat serta keadilan.

Melihat berbagai problema yang terjadi, pada kesempatan kali ini kami akan membahas sedikit tentang Asas Hukum Waris Islam dan Asas Hukum Waris Adat. Yang In Sya Allah akan kami bahas pada Bab selanjutnya.


Rumusan Masalah

1. Sebutkan asas-asas yang terdapat dalam hukum waris Islam ?
2. Sebutkan asas-asas yang terdapat dalam hukum waris adat ?
3. Sebutkan harta-harta yang ada dalam pewarisan ?

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui asas-asas yang terdapatdalam hukum waris Islam.
2. Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum waris adat.
3. Untuk mengetahui harta-harta yang ada dalam pewarisan.



PEMBAHASAN


A. Asas Prinsip Hukum Waris Islam
Adapun asas prinsip yang terdapat hukum waris Islam terbagi beberapa pembagian, diantaranya :

1. Asas Ijbari
Secara etimologis, kata ijbari mengandung arti paksaan ( compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan tersebut . [1]

Dengan lain kata, hal ini berarti peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak ahli waris atau pewaris. Ahli waris langsung menerima kenyataan pindahnya harta si meninggal dunia kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah di tentukan. [2]

Asas ijbari dapat dilihat dari berbagai segi, yakni :
a. Segi peralihan harta.
Mengandung arti bahwa orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan “peralihan harta”, bukan “pengalihan harta”, karena pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya, sedangkan pada pengalihan tampak ada usaha dari seseorang. [3]

b. Segi jumlah harta yang beralih.
Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada apa yang telah ditentukan itu. [4]

c. Segi kepada siapa harta itu beralih.
Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. [5]

Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan QS. An-Nisaa’: 7:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisaa’: 7)

Ayat diatas menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan adanasib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya. Kata nasib dalam ayat tersebut dapat berarti saham, bagian, atau jatuh dari harta peninggalan si pewaris.

2. Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. [6]

Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dari firman Allah dalam surat An-Nisaa’: 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu. [7]

Dalam ayat 11 ditegaskan bahwa:
a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak.

Dalam ayat 12 ditegaskan:
a. Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan atau perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.
b. Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara yang laki-laki dan atau perempuannya berhak menerima harta tersebut.

Dalam ayat 176 ditegaskan:
a. Seseorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
b. Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.

Dari tiga ayat yang dikemukakan diatas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih ke bawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu) dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan. Inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral. [8]

3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian jumlah tertentu dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar masing-masing. [9]

Dari QS. An-Nisaa’: 7 secara garis besar dapat disimpulkan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.

Diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas hartanya, seperti belum dewasa, maka harta warisan yang diperolehnya berada di bawah kuasa walinya, kemudian mengembalikan harta itu saat yang berhak telah cakap menggunakannya.

Menghilangkan bentuk individualnya dengan jalan mencampurkan harta warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu bersifat kolektif berarti menyalahi ketentuan yang disebut di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bentuk kewarisan kolektif tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena cara tersebut dikhawatirkan akan memakan hak anak yatim yang terdapat dalam harta itu. [10]

4. Asas Keadilan Berimbang
Kata “adil” merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-‘adlu. Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan: keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. [11]

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan, secara sadar dapat dikatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan yang ditinggal mati oleh pewaris. [12]

Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturuanan laki-laki saja/garis kebapakan). [13]

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. [14]

Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan kontinuitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris, sehingga jumlah bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga (yang kemudian menjadi ahli waris). [15]

5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan lain kata, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia. [16]

Dengan demikian, hukum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut kewarisanbij testament, sebagaimana yang terdapat dalam hukum Perdata atau BW. Oleh karena hal itu, maka hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan ab intestato, yaitu bentuk kewarisan akibat kematian semata.

Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata-kata“waratsa”, yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Kata waratsa ditemukan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta itu meninggal dunia.

B. Azas Prinsip Hukum Waris Adat
Hukum waris adat merupakan hukum yang mengatur tentang proses peralihan harta kekayaan materiil maupun immateriil dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hukum waris adat sebagai suatu proses artinya bahwa peralihan harta dapat dilakukan baik pada saat pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal.

Adapun asas yang terdapat dalam hukum waris adat adalah sebagai berikut : [17]

1. Ketuhanan dan Pengendalian Diri
Asas terkait dengn sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu bahwa kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah maha mengetahui atas segala-galanya, maha pencipta dan maha adil, yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan hukumannya, maka apabila ada pewaris yang wafat para waris tidak akan bersilang selisih dan saling berebut harta warisan. Terbagi atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah tetap menjaga kerukunan hidup diantara para waris dan semua anggota keluarga keturanan pewaris.

2. Kesamaan Hak
Asas terkait dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yaitu bahwa kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah maha mengetahui atas segala-galanya, maha pencipta dan maha adil, yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan hukumannya, maka apabila ada pewaris yang wafat para waris tidak akan bersilang selisih dan saling berebut harta warisan. Terbagi atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah tetap menjaga kerukunan hidup diantara para waris dan semua anggota keluarga keturanan pewaris.

3. Kekeluargaan Dan Kerukunan
Terkait dengan sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Bahwa dari sila persatuan ini, maka di dalam hukum waris adat dapat ditarik pengertian mengenai asas kerukunan, suatu asas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tenteram dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang terbagi-bagi.

4. Musyawarah Dan Mufakat
Bahwa dalam mengatur dan menyelesaikan harta warisan tidak boleh terjadi hal-hal yang bersifat memaksakan kehendak antara yang satu dan yang lain atau menuntut hak tanpa memikirkan kepentingan anggota waris yang lain. Jika terjadi silang sengketa diantara para waris maka semua anggota waris baik pria atau wanita, baik yang tua maupun yang muda, tanpa kecuali haris menyelesaikannya dengan bijaksana dengan cara musyawarah dan mufakat dengan rukun dan damai.

5. Keadilan Dan Parimerma
Bahwa pewarisan harus menciptakan keadilan bagi semua anggota waris mengenai harta warisan, baik ahli waris maupun waris yang bukan karena hubungan darah tetapi karena hubungan pengakuan saudara dan lain sebagainya menurut hukum adat setempat. Dari rasa keadilan masing-masing manusia Indonesia yang sifatnya Bhineka itu terdapat yang umum dapat berlaku ialah rasa keadilan bedasarkan asas parimirma, yaitu asas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya; sehingga walaupun diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

C. Harta Dalam Pewarisan
Dalam sebuah pewarisan, harta warisan merupakan objek dari pewarisan yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Berikut beberapa harta yang ada dalam pewarisan:

1. Harta Peninggalan
Menunjukkan harta warisan yang belum terbagai atau tidak terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup. Misalnya harta peninggalan ayah yang telah wafat yang masih dikuasai ibu yang masih hidup atau seBaliknya harta peninggalan ibu yang telah wafat tetapi masih dikuasai ayah yang masih hidup. Termasuk didalam harta peninggalan ini ialah harta pusaka.

2. Harta Pusaka
Terdiri dari pusaka rendah dan pusaka tinggi. Pusaka rendah adalah harta peninggalan dari beberapa generasi diatas ayah. Harta pusaka tinggi adalah harta peninggalan dari zaman leluhur, yang karena keadaannya, kedudukannya dan sifatnya tidak dapat atau tidak patut dan tidak pantas dibagi.

3. Harta Perkawinan
Yaitu harta kekayaan yang dikuasai atau dimiliki oleh suami isteri disebabkan adanya ikatan perkawinan. Harta perkawinan ini dapat terdiri dari harta penantian, harta bawaan, harta pencaharian, harta pemberian (hadiah, hibah/ wasiat).
  1) Harta Penantian
Istilah yang dipakai untuk menunjukkan semua harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suami atau isteri ketika perkawinan itu terjadi.

  2) Harta Bawaan
Yaitu semua harta yang datang, dibawa oleh suami atau oleh isteri ketika perkawinan itu terjadi, jadi sebagai kebalikan dari harta perkawinan.

  3) Harta Pencaharian
Menunjukkan semua harta kekayaan yang didapat dari hasil usaha perseorangan atau usaha bersama suamu-isteri yang terikat di dalam ikatan perkawinan

  4) Harta Pemberian
Istilah ini yang jelasnya ialah harta asal pemberian, dipakai untuk menunjukkan harta kekayaan yang didapat suami isteri secara bersama atau secara perseorangan yang berasal dari pemberian orang lain. Pemberian ini dapat berupa pemberian hadiah atau pemberian hibah atau hibah wasiat.



PENUTUP


A. Kesimpulan

1. Adapun asas prinsip yang terdapat hukum waris Islam terbagi beberapa pembagian, diantaranya :
a. Asas Ijbari.
Asas ijbari dapat dilihat dari berbagai segi, yakni :
1) Segi peralihan harta.
2) Segi jumlah harta yang beralih.
3) Segi kepada siapa harta itu beralih.

b. Asas Bilateral.
c. Asas Individual.
d. Asas Keadilan Berimbang.
e. Asas Semata Akibat Kematian.

2. Adapun asas yang terdapat dalam hukum waris adat adalah sebagai berikut :
a. Ketuhanan dan Pengendalian Diri.
b. Kesamaan Hak.
c. Kekeluargaan Dan Kerukunan.
d. Musyawarah Dan Mufakat.
e. Keadilan Dan Parimerma.

3. Dalam sebuah pewarisan, harta warisan merupakan objek dari pewarisan yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Berikut beberapa harta yang ada dalam pewarisan
a. Harta Peninggalan
b. Harta Pusaka
c. Harta Perkawinan
   1) Harta Penantian
   2) Harta Bawaan
   3) Harta Pencaharian
   4) Harta Pemberian


B. Saran
Setelah pembahasan makalah ini, diharapkan Mahasiswa/i pada khususnya dan Umat Islam pada umumnya dapat memahami tentang Asas Prinsip Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Adat, sehingga dapat mengaplikasikan tata cara pembagian warisan dengan benar serta dapat mengamalkannya dengan ibadah dan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis berharap pada teman-teman untuk kritik serta saran yang konstruktif demi menyempurnakan makalah yang kami buat dan penulis menyarankan untuk pembaca tidak hanya terpacu terhadap makalah yang kami telah buat demi memperluas wawasan tentang relevansi mata kuliah “Hukum Waris Indonesia” ini, karena kami sadari makalah ini jauh dari kesempurnaan dan kelengkapan.



[1] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam. Cet-II (Jakarta : Sinar Grafika.,2007), h. 39.
[2] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), Cet Ke-I, (Yogyakarta : Yogyakarta, 1994), h. 115.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet Ke-I, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 18-19.
[4] Ibid,. h. 19.
[5] Ibid,. h. 19.
[6] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris..., h. 40.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisa.., h. 20.
[8] Ibid, . h. 21.
[9] Moch. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 28.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan.., h. 23.
[11] Ibid, . h. 24.
[12] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan.., h. 118.
[13] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris..., h. 46.
[14] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan.., h. 26.
[15] Ibid., h. 26.
[16] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris..., h. 46.

No comments