Makalah Hukum Pajak di Indonesia
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran
serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk
ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak,
sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada
anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem
Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena
itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat.
Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan
menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi
pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar
pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar
pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini
menandakan bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan
ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang
gencar dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena
itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax
coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance
(kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang
bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar
pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan
perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak
(masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem
perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang
kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis
dan komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar
memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak
terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek
lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi
alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan
keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib
pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai
seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau
seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai
rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
PEMBAHASAN
B.
Teori Pemungutan Pajak
1. Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar
rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2. Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan
kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat
baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan
seseorang.
4. Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang
mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara
seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5. Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan
juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang
meliputi keduanya.
C.
Asas Pemungutan Pajak
1. Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal
wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak
mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber
penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau
kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2. Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber
pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan
tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan
kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada
kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara
yang menjadi kebangsaan orang tersebut.
D.
Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang
menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak
dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2. Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan
bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung
sendiri oleh wajib pajak.
E.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan
2. Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat
(2). “ Atas Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan
tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa tanah dan
atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur
dengan peraturan pemerintah.
3. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
4. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
5. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan
bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
6. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang
7. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
8. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
9. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
10. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
11. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
F.
Pengertian Pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan
yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli
adalah sebagai berikut :
1.
Menurut Sommerfeld:
pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari
sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat
suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan
2.
Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro
: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public
saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’.
Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak
ialah:
- Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya.
· Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran
perpajkan dapat dikenakan sanksi.
· Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara
langsung oleh pemerintah.
· Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah.
· Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
3.
Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets
: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang
mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.
G.
Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak
Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung
dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang
berada di wilayah Republik Indonesia.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : PPN
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah
yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN.
Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) : Selain
dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah,
juga dikenakan PPn BM.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai : Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan
atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya
dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran
pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) : PBB adalah atas harta
tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) : BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh
Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan
kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota antara lain:
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang
disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan
balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan
atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan
tersebut merupakan pungutan yang legal.
H.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,
perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos
pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak,
sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan
uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan
berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan
menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk
pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan
masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan
meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang
semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian
jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat
dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan
pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga
melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya
lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat
mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada
akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat
dikurangi secara maksimal.
I.
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut
pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah
Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir
tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam
undang-undang diantaranya adalah :
a. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
b. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan
bagi orang pribadi yang bertolak keluar negeri.
c. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.
d. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP jo. UU No. 9/1994.
e. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh jo. UU No. 10/1994.
f. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN jo. UU No. 11/1994.
g. UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994.
h. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
i. UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun
2007.
Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak
adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang
menjadi Subjek PPh yaitu:
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
b. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer,
perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun,
Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi
yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang
pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal
di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan
yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
1.
Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan
berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU
No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito
berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang
dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga
mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan
penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan
sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud
dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang
dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai
yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi.
Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto.
Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa
membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara
orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha
tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
a. Orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dan
b. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan
pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp 60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak
tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di
atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi
Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua
kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha
pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan
dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan
ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang
pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau
bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan
orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor
sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari
seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut,
terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup
lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang
ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang
lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga
peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor
penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan
indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta
tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit
untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk
dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat
final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau
pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut
orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha
pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan
dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.
2.
Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena
Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,
royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan,
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya
bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di
atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian
dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat
dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang
dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta
yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan
melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta
tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam
hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain
cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang
dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai
kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian
asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau
harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan
semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan
berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas
penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran
yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh
bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam
suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya
wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah
menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan
barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8).
Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan
barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan,
barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan
tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode
yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan
tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang
sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang
sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan
perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh
memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang
perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan
sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang
menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya
bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian
terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi
kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
Sumber :
http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-hukum-pajak.html
.
No comments