Makalah Al-Muzaara'ah Dalam Hukum Islam
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor
pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor
pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan
hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka
berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk
digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan
sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerja
sama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan
imbalan bagi hasil.
Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan
sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi
kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan
milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik
yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena
suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat
sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada
masyarakat pedesaan kita saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada
baiknya kita rangkaikan menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau
membutuhkan antara permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam
bentuk kerjasama bagi hasil.
Dari permasalahan di atas Islam mempunyai solusi salah satunya memanfaatkan
lahan pertanian dengan sistem muzara’ah. Jadi pembahasan makalah
kami kali ini adalah Al-Muzara’ah Dalam Syariat Islam. Semoga bermanfaat...
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian muzara’ah ?
2. Bagaimana dasar hukum sistem muzara’ah ?
3. Apa-apa saja rukun dan syarat muzara’ah ?
4. Bagaimanakah sistem muzara’ah dalam syariat Islam ?
5. Apa hikmah melaksanakan muzara’ah ?
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian muzara’ah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum sistem muzara’ah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat muzara’ah.
4. Untuk mengetahui sistem muzara’ah dalam syariat Islam.
5. Untuk mengetahui hikmah melaksanakan muzara’ah.
AL-MUZARA’AH DALAM SYARIAT ISLAM
A. Pengertian Muzâra’ah
Al-muzâra’ah
secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar az-zar’u.
Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang pertama ialah tharh az-zur’ah yang artinya melemparkan benih (dalam istilah lain
dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih
ke tanah. Dan makna yang kedua dari az-zar’u ialah al-inbaat yang memiliki arti “menumbuhkan tanaman”. Makna yang
pertama adalah makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy), dan makna
yang kedua adalah makna konotasi (ma’na majaziy). Oleh karenanya
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda :
لا يقول أحدكم زرعتُ وليقل حرثتُ
Artinya :
“Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu, melainkan
katakanlah harats-tu”.
Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namun kata haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud
dari hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang
dimaksudkan adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena hanya
Allah-lah yang dapat menumbuhkan. sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.
Al-Waqi’ah ayat 63-64 :
Artinya :
“Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang
menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya ?”
[1]
Adapun secara terminologi, para ulama mazhab berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya. Wahbah Zuhaily dalam kitabnyaal-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu menuliskan bahwa ulama Mâlikiyyah mendefinisikannya dengan kerjasama dalam bercocok
tanam. Ulama Hanâbilah mendefinisikannya dengan pemindahan
pengelolaan tanah kepada orang yang akan menanaminya atau mengerjakannya,
adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak. Muzâra’ah disebut juga mukhâbarah atau muhâqalah. Orang-orang Iraq menyebutnya
dengan qarâh. Ulama Syafiiyyah membedakan makna istilah muzâra’ah dan mukhâbarah. Mukhâbarah
didefinisikan dengan pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada si
penggarap dengan pembagian hasil panennya, sedangkan benih berasal dari si
penggarap. Adapun Muzâra’ah adalah mukhâbarah itu sendiri
akan tetapi benihnya berasal dari pemilik tanah.
[2]
Sedangkan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnyaAl-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah memaparkan perbedaan pengertian muzâra’ah di kalangan para ulama mazhab adalah sebagai berikut :
Menurut Hanafiah muzâra’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan
sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hanabilah muzâra’ah
adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami
dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang
dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzâra’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang
dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.
[3]
Adapun menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam, muzâra’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik
tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain)
seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakannya.
[4]
Jadi, dari beberapa definisi di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa muzâra’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan
sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzâra’ah adalah akad kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian
atau perkebunan antara pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil
sesuai kesepakatan kedua pihak.
B. Landasan Hukum dan Pendapat Ulama dalam Muzâra’ah
Muzâra’ah
atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil dalam pengolahan
pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan dilakukan
para sahabat beliau sesudah itu. Sebagian besar ulama memperbolehkan muzâra’ah ini. Namun, banyak juga ulama ada yang mengharamkannya,
ada yang membagi antara muzâra’ah yang haram dan yang halal
dengan syarat-syarat tertentu. Berikut ini penulis akan memaparkan
perbedaan pendapat ulama beserta dalil-dalilnya. Secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Pendapat Yang Memperbolehkan Muzâra’ah
Pendapat Jumhur ulama di antaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu
Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud Ad-Dzâhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzâra’ah diperbolehkan dalam Islam. Pendapat mereka didasarkan
pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil ‘aqli.
a. Dalil al-Quran
Ø QS. Surah al-Muzammil ayat 20
....وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
.....
Artinya :
“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah…”
Ø Surat al-Zukhruf : 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ
بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ
رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.”
Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan
dan kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya
untuk bisa tetap bertahan hidup di muka bumi.
b. Hadits
Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من كانت له
أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه
Artinya
: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa
yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.”
(Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا
فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau
hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”
(Hadits Riwayat Bukhari)
عَنِ ابِن عُمَرُرَضِىَ اللهُ عَنهُ (أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه
عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهلَ خَيبَرَ بشَطرٍ ماَيَخرُجُ مِنهَا مِن
ثَمَرٍ أَو زَرعٍ) أَخرَجَهُ البُخَارِي
Artinya
: ”
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan
bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan
imbalan pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).
c. Ijma’
Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan
praktek muzâra’ah dan tidak ada dari mereka yang mengingkari
kebolehannya. Tidak adanya pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzâra’ah dan praktek yang mereka lakukan dianggap sebagai ijma’.
d. Dalil ‘Aqli
Muzâra’ah
merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta dan
pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya
mudarabah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan
seseorang memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki keterampilan khusus
dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya. Di sini Islam memberikan solusi
terbaik untuk kedua pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga
keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme
antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di
bidang pertanian dan perkebunan semakin meningkat.
[5]
2. Pendapat Yang Melarang Muzâra’ah
Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzâra’ah
tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwamuzâra’ah itu fâsidah (rusak) atau dengan kata lain muzâra’ah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah
dibenarkan.
Imam Syafi’i sendiri juga melarang praktek muzâra’ah, tetapi ia
diperbolehkan ketika didahului oleh musâqâh apabila memang
dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama. Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya
kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musâqâh danmuzâra’ah) yang mereka langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akadmuzâra’ah sendiri tidak diperbolehkan mendahului akad musâqâh karena akad muzâra’ah adalah tabi’,
sebagaimana kaidah mengatakan bahwa tabi’ tidak boleh mandahuluimathbu’nya. Adapun melangsungkan akad mukhâbarah setelah musâqâh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah
karena tidak adanya dalil yang memperbolehkannya.
Para ulama yang melarang akad muzâra’ah menggunakan dalil dari
hadis dan dalil aqli.
a. Hadist
عَنْ ثَابِت ابْنَ ضَحَّاكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَاَرعَةِ ( أخرجه مسلم)
Artinya :
“Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang muza’rah”
(HR. Muslim)
أَنَّ رَافِع ابنُ خَدِيج قَالَ: كُنّاَ نُخَابِرُ عَلَى عَهدِ رَسُولُ اللهِ,
فَذَكَرَ أَنَّبَعضَ عُمُومَتُهُ أَتاَهُ وَ قاَلَ: نَهَى رَسُولُ الله عَن
أَمرٍ كاَنَ لَناَ ناَفِعاً, وَ طَوَاعِيَةُ اللهِ وَ رَسُولِهِ أَنفَعُ لَناَ
وَ أَنفَع قاَلَ: قُلناَ: وَ ماَ ذَالِكَ؟ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ لُلهِ ” مَن
كاَنَت لَه أَرضٌ فَليَزرَعهاَ أَو فَليُزرِعهاَ أَخاَهُ, وَلاَ يُكاَرِيهاَ
بِثُلُثٍ وَلَا بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعاَمٍ مُسَمَّى” أَخرَجَهُ مُسلِم وَ أَبُو
دَاوُد
Artinya :
“Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu ketika
ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan dengan bagi hasil
tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah kepadanya sebagian dari
keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw.
melarang akan sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan
sungguh ketaatan atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat
bagi kami. Lalu kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah
ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya untuk ditanami. Dan
janganlah ia menyewakan sepertiganya, atau seperempatnya, dna tidak
juga dengan makanan.”
(HR. Muslim dan Abu Dawud)
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّا اَكْثَرَ اْلاَنْصَارِ حَقْلاً
فَكُنَّا نُكْرِى اْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ
هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya : “
Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah
di Madinah melakukan muzâra’ah , kami menyewakan tanah, satu bagian
daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si
pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat,
dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia
selamat, oleh karenanya kami dilarang.”
(HR. Bukhari).
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ
عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ
شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ
بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ
بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.
Artinya : “
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku
telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada
zaman Nabi dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu
yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu
,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’,
bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak
mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
(HR Bukhari).
عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن
خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج
إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم
عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها
Artinya :
“Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu
Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu
Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka
ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut.
Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan
sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”
(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)
b. Dalil Aqli
Muzâra’ah
dilarang karena upah penggarapan lahannya ma’dum (tidak ada
wujudnya ketika proses akad berlangsung) dan majhul karena tidak
adanya kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang
digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita
ketahui bahwa jahâlah dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan
merusak akad ijarah. Adapun muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk
Khaibar bukan termasuk akad Muzâra’ah akan tetapi termasuk Kharaj Muqâsamah.
[6]
C. Rukun Muzâra’ah .
Menurut Jumhur ulama, rukun muzâra’ah ada tiga, yaitu :
1. ‘Akidain ( pemilik tanah dan penggarap)
2. Mahallul aqdi atau ma’qud ‘alaih yaitu objek. Ada
perbedaaan pendapat dalam masalah objek ini, ada yang berpendapat bahwa
objek muzâra’ah adalah manfaat tanah (lahan) ada pula yang
berpendapat bahwa objek yang dimaksud adalah pekerjaan si penggarap lahan.
Para ulama Hanafiyyah yang mengkiaskan muzâra’ah dengan
ijarah pada awalnya dan syirkah pada akhirnya berpendapat apabila benih
berasal dari penggarap maka objeknya adalah manfaat tanah yang digarap,
akan tetapi jika benih berasal dari pemilik tanah maka objeknya adalah
pekerjaan si penggarap tanah.
3. Ijab dan kabul, yaitu kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap.
[7]
Sedangkan menurut Hanafiyyah, rukun muzâra’ah hanyalah
ijab dan kabul saja. Ini hanyalah perbedaan pendapat ulama, akan tetapi
pada prakteknya semua komponen harus terpenuhi baik ‘âkidân, mahallul ‘aqdi maupun ijab dan qabul.
Karena tanpa tiga unsur ini muzâra’ah tak akan bisa terlaksana.
D. Syarat Muzâra’ah
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan mengklasifikasikan syarat-syarat Muzâra’ah sebagai berikut :
1. Syarat-syarat ‘âkidân (pemilik tanah dan penggarap)
a. ‘âkidân harus berakal (mumayyiz). Maka tidak sah akad muzâra’ah yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang
belum mumayyiz, karena akal merupakan syarat ahliyyah dalam
penggunaan harta. Adapun al-bulugh menurut tidak termsuk syarat
bagi Hanafiyyah, sedangkan Syafiiyyah dan Hanâbilah mensyaratkannya.
b. Tidak murtad. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan kedua
muridnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan tidak mensyaratkannya. Menurut
Imam Abu Hanifah, tasharruf orang yang murtad dianggap mauquf, oleh karena itu tasharrufnya dianggapa tidak sah.
Sedangkan kedua muridnya yang tidak mensyaratkan hal ini menganggap tasharruf orang yang murtad tetap sah.
2. Syarat-syarat Tanaman
a. Diketahui jenis dan sifat tanamannya. Penggarap hendaknya menjelaskan
dengan detail jenis dan sifat tanaman yang akan ditanamnya kepada pemilik
tanah. Hal ini menjadi penting karena jenis tanaman akan berpengaruh kepada
kualitas tanah yang ditanaminya.
b. Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang menghasilkan atau dapat diambil
manfaatnya dengan jelas, sehingga tidak sia-sia nantinya.
c. Tanaman yang akan ditanam memang bisa tumbuh di lahan yang tersedia.
3. Syarat tanah (lahan)
a. Hendaknya kedua belah pihak memastikan bahwa tanah yang akan digarap
benar-benar tanah yang bisa ditanami. Bukan rawa-rawa ataupun tanah tandus
yang memang tidak mungkin dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
b. Kejelasan letak dan batas tanah yang akan digarap.
c. Pembebasan lahan dari pemilik tanah kepada penggarap. Ini berarti bahwa
pemilik tanah mengamanahkan sepenuhnya pengurusan tanah dan tanamannya
kepada penggarap agar lebih leluasa dalam bekerja.
4. Syarat-syarat hasil yang akan dipanen dan dibagi
Syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi apabila tidak terjadi pembatalan
akad :
a. Hasil yang akan dibagi nanti harus dijelaskan sejak awal akad. Kedudukan
hasil di sini setara dengan kedudukan upah dalam suatu pekerjaan, oleh
karena itu jika terjadi jahâlah dalam upah maka rusaklah suatu
akad.
b. Hasil yang akan dipanen nanti harus dibagikan kepada kedua pihak sesuai
kesepakatan. Apabila ada salah satu pihak mensyaratkan hasilnya hanya untuk
salah satu dari mereka maka rusaklah akad muzâra’ah.
c. Adanya penentuan persentase pembagian yang jelas dari awal akad, ½, 1/3
atau1/4 misalnya. Hal ini harus jelas sejak awal agar tidak terjadi
perdebatan dan percekcokan antara pihak satu dengan lainnya.
d. Yang dibagikan kepada kedua pihak benar-benar hasil dari kerjasama
keduanya.
e. Mâlikiyyah mensyaratkan pembagian hasil yang sama rata antara
pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan Syafiiyyah, Hanâbilah dan Hanafiyyah tidak mensyaratkannya. Mereka
memperbolehkan perbedaan pembagian hasil antara kedua belah pihak sesuai
kesepakatan.
5. Syarat-syarat Mahallul aqdi (objek)
Objek muzâra’ah hendaknya sejalan dengan yang digariskan oleh
Syara’ ataupun ‘urf. Jika kita kiaskan akad muzâra’ah ke
akad sewa menyewa (ijârah) maka kita akan menemukan pembagian jenis objek
sewa menjadi dua :
a. Manfaat pekerjaan dari si penggarap tanah. Ini terjadi apabila benih
berasal dari pemilik tanah.
b. Manfaat dari lahan itu sendiri. Ini terjadi apabila benih berasal dari
penggarap tanah.
Jika kedua objek ini berkumpul dalam akad muzâra’ah maka akad
tersebut fasid.
6. Syarat Alat Pertanian
Alat pertanian bisa berupa hewan seperti sapi atau kerbau pembajak ataupaun
alat-alat modern seperti traktor. Alat-alat ini tidak wajib disebutkan
dalam akad karena hanya merupakan pelengkap bukan inti dari pekerjaan yang
akan dilakukan.
7. Syarat waktu atau masa berlangsungnya akad muzâra’ah
Masa berlangsungnya akad harus jelas sejak awal akad. Tidak sah akadmuzâra’ah kecuali masa berlangsungnya akad ini disepakati. Karena muzâra’ah merupakan akad yang bertujuan untuk membuahkan hasil.
Jika kita qiyaskan lagi dengan ijarah, maka jelas bahwa ijarah tidak sah
ketika masa berlangsungnya akad tidak jelas.
[8]
E. Syarat-syarat yang Bisa Merusak Akad Muzâra’ah
Berikut ini adalah syarat-syarat yang bisa merusak akad muzâra’ah
:
1. Pensyaratan agar semua hasil garapan diperuntukkan kepada salah satu
pihak saja.
2. Syarat yang menimbulkan ketidakpastian pembagian hasil antara dua pihak.
Apabila salah satu pihak mensyaratkan persentase tertentu bagi dirinya atas
hasil yang akan didapatnya atau mengkhususkan bagian tertentu untuk dirinya
tanpa bagian yang lain.
3. Apabila ada pensyaratan keikutsertaan pemilik tanah dalam mengelola
lahan atau bahkan pemilik tanah sendiri yang harus mengelola lahannya. Ini
menurut pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah.
4. Syarat kepada pemilik lahan untuk menjaga dan merawat lahannya sebelum
masa akad berakhir.
5. Syarat kepada penggarap untuk menjaga dan merawat lahan setelah masa
akad berakhir dan hasil telah dibagikan.
6. Masa akad yang majhûl dan tidak relevan. Misalnya menunggu
sampai tanaman yang ditanam mati secara alami.
[9]
F. Sifat Akad Muzâra’ah Berdasarkan Lazim dan Tidaknya Akad
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang lazim dan tidaknya akad Muzâra’ah.
1. Imam Hanafi bependapat bahwa Muzâra’ah merupakan akad tidak
lazim bagi pemilik benih dan akad lazim bagi yang tidak memiliki benih.
2. Para Ulama Mâlikiyyah berpendapat bahwa muzâra’ah
termasuk akad lazim ketika benih telah ditaburkan bagi tanaman yang
berkembang biak dengan biji benih atau ketika batangnya sudah ditanam bagi
tanaman yang berkembang biak dengan batangnya. Jadi sebelum benih
ditaburkan atau batang ditanam, akad ini belum mencapai derajat lazim.
3. Para ulama Hanâbilah mengatakan baik akad muzâra’ah
maupun musâqâh keduanya merupakan akad ghairu lazim. Masing-masing
pihak boleh membatalkan akad kapan saja. Akad dianggap batal ketika salah
satu pihak meninggal dunia.
[10]
G. Macam-macam Bentuk Akad Muzâra’ah
Ada empat bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan, dua murid Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih
dan satu lainnya akad bathil.
1. Apabila tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan
dan hewan (peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini
diperbolehkan. Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak
sebagai penyewa kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian
yang tak terpisahkan dari pihak penggarap. Karena hewan (peralatan) adalah
wasilah untuk bekerja.
2. Apabila tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan
pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga
diperbolehkan. Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah
dengan keuntungan pembagian hasil yang akan di panen nanti.
3. Apabila tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan
pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga
diperbolehkan. Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa
pekerjaan si penggarap dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.
4. Apabila tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih
dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini
tidak diperbolehkan. Ini termasuk akad yang fasid. Apabila kita kiaskan
akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan adanya
hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa ( ijârah). Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan)
bagian dari tanah sebab adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan
kata lain bahwa manfaat hewan (peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang
ada dalam pemanfaatan tanah itu sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan
untuk bercocok tanam sedangkan hewan (peralatan) berfungsi untuk bekerja
dan mengolah tanah.
Adapun jika akad ini diqiyaskan ke akad sewa pekerja, maka pensyaratan
adanya benih juga merusak akad sewa, karena benih bukan termasuk bagian
dari manfaat pekerja (penggarap).
[11]
H. Hal-Hal Yang Membuat Akad Muzâra’ah Berakhir.
Ada tiga keadaan yang membuat akad ini berakhir atau fasakh :
1. Berakhirnya waktu akad
Ketika masa akad berakhir, maka berakhir pula akad tersebut. Ini adalah
pengertian dari fasakhnya suatu akad. Apabila masa akad telah
selesai dan tanaman sudah membuahkan hasil kemudian hasil tersebut juga
sudah dibagikan kepada masing-masing pihak maka berakhirlah akad. Namun,
jika waktu akad telah selesai sedangkan tanaman belum membuahkan hasil,
akad tersebut harus tetap dilanjutkan walaupun masanya telah berakhir
sampai tanaman tersebut berbuah dan bisa dibagikan hasilnya. Hal ini
dilakukan demi kemaslahatan bersama antara kedua belah pihak.
2. Meninggalnya salah satu pihak
Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah. Akad
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya sebelum
maupun setelah penggarapan. Demikian pula ketika tanaman telah berbuah
maupun belum. Sedangkan Syafiiyah dan Mâlikiyyah berpendapat bahwamuzâra’ah tidak berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak. Hanafiyyah membedakan antara dampak yang timbul akibat wafatnya
salah satu pihak, sebagai berikut :
a. Dampak yang timbul dari wafatnya si pemilik lahan :
Apabila si pemilik lahan wafat, sedangkan hasil pertanian masih belum dapat
dipanen. Maka, lahan tersebut diberikan kepada si penggarap untuk dikelola
lagi hingga waktu panen tiba. sedangkan hasil panen tersebut, dibagi antara
si penggarap dan ahli waris si pemilik lahan, sebagaimana kesepakatan awal
antara si pemilik lahan dan si penggarap.
b. Dampak yang timbul dari wafatnya si penggarap :
Maka, apabila si penggarap wafat sebelum adanya hasil panen. Maka, bagi
ahli warisnya hak untuk melanjutkan warisan pekerjaan dari si penggarap ( muwarrits) sesuai dengan syarat yang telah disepakati antara si
pemilik lahan dan penggarap sebelumnya.
3. Adanya Uzur Yang Memfasakh Akad
Apabila akad difasakh sebelum lazimnya akad, maka batallah akad tersebut.
Menurut Hanafiyyah sifat akad dalam Muzâra’ah adalah ghairu lazim bagi si pemilik benih dan lazim bagi yang tidakkk
memiliki benih. Sedangkan menurut Malikiah, akad Muzâra’ah menjadi lazim apabila penggarap sudah memulai
pekerjaaannya. Maka, selama si penggarap belum menggarap lahan, ia masih
dapat memfasakh akad tersebut.Bagi Hanafiyyah juga diperbolehkan
untuk memfasakh akad setelah ia menjadi akad lazim, apabila terdapat uzur.
Baik, dari pemilik lahan atau si penggarap.
Misalnya: Adanya hutang bagi si
pemilik lahan, yang mengharuskannya untuk menjual lahan pertanian, yang
sudah disepakati untuk akad Muzâra’ah. Dimana si pemilik lahan
tidak memiliki harta lain selain lahan tersebut. Maka, dibolehkan baginya
untuk menjualnya karena adanya hutang tersebut, dan berakhirlah ( fasakh) akad Muzâra’ah. Karena ia tidak mungkin untuk
meneruskan akad tersebut, kecuali dengan menanggung bahaya dari hutang yang
dimilikinya.
[12]
I. Hikmah dari Sistem Muzâra’ah.
Diterapkannya bagi hasil sistem muzâra’ah berdampak pada sektor
pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
- Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
- Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
- Dapat mengurangi pengangguran.
- Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri menuju swasembada pangan.
- Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopang pertumbuhan ekonomi secara makro.
- Mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak produktif dan mengubahnya menjadi produktif dan bermanfaat secara luas. [13]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muzara’ah
yaitu suatu perjanjian kerja sama dalam pertanian antara dua pihak yaitu
dari pihak pengelola tanah dan pemilik tanah dimana pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Sedangkan bibit atau
modal dikeluarkan dari pemilik tanah.
Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan/tanah) tapi ia
tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya,
ada seseorang yang memiliki keterampilan di dalam bercocok tanam tetapi ia
tidak memiliki lahan atau tanah. Di sini Islam memberikan solusi terbaik
untuk kedua pihak agar bisa bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa
dirasakan oleh kedua pihak. Dalam istilah Biologi bisa disebut dengan
simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara pemilik tanah dan
penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan
perkebunan semakin berkembang.
Muzara’ah
disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan tanah yang dibiarkan tidak
ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
Dengan muzara’ah, maka akan mengurangi tingkat pengangguran, dan
terciptanya stabilitas ekonomi.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentulah terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik dan saran supaya
makalah ini lebih baik ke depan. Dan penulis juga mengharapkan kepada
pembaca untuk tidak hanya terfokus pada makalah yang telah penulis susun
ini, khususnya tentang muzara’ah. Hendaklah kita untuk mencari
sumber lain supaya pengetahuan kita terus bertambah.
[1]
Abdurrahman Al-Jazairy, ‘al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah
, Jilid III, (Mesir : Dar el-Bayan al-‘Arobiy, 2005), hal. 5.
[2]
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmy Wa Adillatuhu, Jilid V,
(Damaskus : Dar al-Fikr, 2008), hal. 482
[3]
Abdurrahman Al-Jazairy, op.cit., hal 19
[4]
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 2002), hal 297.
[5]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 12, terjemahan : Kamaluddin A.Marzuki.
(Bandung : Al-Ma’arif, 2003), hal. 148.
[6]
Ibid
., hal. 149
[7]
Wahbah Zuhaily, op.cit., hal. 484
[8]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Press,
2010), hal. 153-154
[9]
Ibid
., hal. 157
[10]
Ibid
., hal. 158
[11]
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan Empat Mazhab,
(Yogyakarta : Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 310.
[12]
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), hal 63-64
[13]
Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), hal 278
No comments