Breaking News

Makalah Tentang Etika Komunikasi Dalam Islam


Komunikasi tidak hanya ilmu yang dipelajari di kelas sekolah semata. Bahkan komunikasi sendiri sebenarnya telah diajarkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, melalui kitabnya Al-Qur’an tentang bagaimana pentingnya komunikasi bagi umat manusia, khususnya umat Islam.

Jika kita melihat zaman sebelumnya, kita mengenal Bung Karno yang memiliki komunikasi yang begitu memukau para pendengarnya hingga berjam-jam. Adolf Hitler berhasil mempengaruhi kaum Nazi untuk memberantas kaum Yahudi. Bung Tomo dengan teriakan takbirnya yang menggetarkan hati para pejuang dan menggerakkan arek-arek Suroboyo untuk melawan dan mengusir Belanda hanya dengan bambu runcing. Thariq Bin Ziyad mampu membakar semangat pasukannya yang sedikit untuk terus maju melawan kafir dengan latar belakang kapal yang terbakar sehingga memenangkan peperangan. Dan tak lupa kita kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang mampu berkomunikasi dengan laur biasa dan membuat para musuh luluh hatinya. Dengan kemampuan berkomunikasi kita dapat mempengaruhi jalan pikiran berjuta-juta manusia. Islam memerintahkan kita untuk selalu berkomunikasi dengan baik.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas sedikit tentang komunikasi dalam Islam. Semoga bermanfaat.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan masalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah definisi etika komunikasi Islam ?
2. Apa-apa saja unsur-unsur dalam berkomunikasi komunikasi ?
3. Bagaimanakah sikap dalam berkomunikasi ?
4. Bagaimanakah etika komunikasi dalam Islam ?
5. Bagaimanakah adab-adab dalam berkomunikasi ?
6. Apa-apa saja hikmah berkomunikasi dengan baik ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi etika komunikasi Islam.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur dalam berkomunikasi komunikasi.
3. Untuk mengetahui sikap dalam berkomunikasi.
4. Untuk mengetahui etika komunikasi dalam Islam.
5. Untuk mengetahui adab-adab dalam berkomunikasi.
6. Untuk mengetahui hikmah berkomunikasi dengan baik.

ETIKA KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Definisi Etika Komunikasi Islam
Pengertian etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos”. Yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk.

Komunikasi berasal dari perkataan Yunani, yaitu communicare yang bermaksud menjadikan sesuatu itu milik bersama dimana penyampai menyampaikan sesuatu pesan kepada pendengar, pendengar pula bertindak dengan memberi maklum balas yang berkesesuaian. Bercakap, mendengar, menonton, membaca, menulis, berdo’a, menilai diri dan sebagainya juga adalah aktivitas komunikasi.

Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Maka komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how), dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika). Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan). Pesan-pesan keislaman yang disampaikan tersebut disebut sebagai dakwah. Dakwah adalah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia mengikuti islam.

Dalam konteks komunikasi di masyarakat, ada 2 kata yang dirasa perlu untuk dibicarakan disini yaitu etika dan komunikasi.

Kata etika diartikan sebagai:
1. Himpunan asas-asas nilai atau moral.
2. Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak,
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut golongan atau masyarakat,
4. Norma, nilai, kaidah atau ukuran tingkah laku yang baik.

Etika menyangkut persoalan tata susila, tetapi ia tidak membuat seseorang lebih baik. etika hanya menunjukkan baik buruknya perbuatan seseorang. Ketika etika dikaitkan dengan komunikasi, maka etika itu menjadi dasar pijakan dalam berkomunikasi. Etika memberikan landasan moral dalam membangun tata susila terhadap semua sikap dan perilaku seseorang dalam komunikasi. Dengan demikian, tanpa etika komunikasi itu tidak etis.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas, dapat saya simpulkan bahwa etika komunikasi islam adalah tata cara berkomunikasi yang sesuai dengan standar nilai moral atau akhlak dalam menilai benar atau salah perilaku seseorang disampaikan dengan mengandung unsur islami mengarahkan manusia kepada kemaslahatan dunia dan akhirat. [1]

B. Unsur-Unsur Dalam Berkomunikasi
Untuk dapat berkomunikasi secara efektif kita perlu memahami unsur-unsur komunikasi, antara lain :
1. Komunikator
Pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam komunikasi, karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi

2. Komunikan
Penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator, kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon.

3. Media
Saluran (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.

4. Pesan
Isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi.

5. Tanggapan
Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan. Diimplentasikan dalam bentuk umpan balik ( feed back) atau tindakan sesuai dengan pesan yang diterima. [2]

C. Sikap Dalam Berkomunikasi
Ada beberapa sikap yang perlu dicermati oleh seseorang dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi verbal, yaitu antara lain:
1. Berorientasi pada kebenaran (truth).
2. Tulus (sincerity).
3. Ramah (friendship).
4. Kesungguhan (Seriousness).
5. Ketenangan (poise).
6. Percaya diri (self convidence).
7. Mau mendengarkan dengan baik (good listener) [3]

D. Etika Komunikasi Dalam Islam
Dalam etika-etika komunikasi Islam ada 6 jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yaitu:
1. Qaulan Sadidan (perkataan benar, lurus, jujur).
Kata “qaulan sadidan” disebut dua kali dalam Al-Qur’an. Pertama, Allah menyuruh manusia menyampaikan qaulan sadidan dalam urusan anak yatim dan keturunan, terdapat dalam Firman Allah QS. An-Nisa ayat 9:

Artinya: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraannya)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (qaulan sadidan)”.

Kedua, Allah memerintahkan qaulan sadidan sesudah taqwa: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah qaulan sadidan. Nanti Allah akan membaikkan amal-amal kamu, mengampuni dosa kamu. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan mendapat keuntungan yang besar.

Apa arti qaulan sadidan? Qaulan sadidan artinya pembicaraan yang benar, jujur, (Picthall menerjemahkannya “straight to the point”), lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit. Prinsip komunikasi yang pertama menurut Al-Quran adalah berkata yang benar. Ada beberapa makna dari pengertian yang benar :

a. Sesuai dengan kriteria kebenaran
Arti pertama benar adalah sesuai dengan kebenaran. Dalam segi substansi mencakup faktual, tidak direkayasa atau dimanipulasi. Sedangkan dari segi redaksi, harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku dan sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Buat kita orang islam, ucapan yang benar tentu ucapan yang sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ilmu. Jadi, kalau kita sedang berdiskusi dalam perkuliahan maupun organisasi harus merujuk pada Al-Qur’an, petunjuk dan ilmu.

b. Tidak bohong
Arti kedua dari qaulan sadidan adalah ucapan yang jujur, tidak bohong. Nabi Muhammad saw bersabda: “Jauhi dusta karena dusta membawa kamu pada dosa, dan dosa membawa kamu pada neraka. Lazimlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu kepada kebajikan, membawa kamu pada surga.” Meskipun kepada anak-anak kita tidak dianjurkan berbohong kepada mereka, bahkan seharusnya kita mengajarkan kejujuran kepada mereka sejak dini.

2. Qaulan Balighan (perkataan yang membekas pada jiwa, tepat sasaran, komunikatif, mudah mengerti).
Ungkapan ini terdapat dalam QS An-Nisa ayat 63 yang berbunyi :

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”.

Kata “baligh” dalam bahasa arab artinya sampai, mengenai sasaran atau mencapai tujuan. Apabila dikaitkan dengan qaul (ucapan atau komunikasi), “baligh” berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat menggunakan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu prinsip qoulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif.

Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan balighan menjadi dua. Pertama, qaulan balighan terjadi bila da’i (komunikator) menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai denganframe of reference and field of experience. Kedua, qaulan balighan terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus. Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Balighan artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah ( straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.

Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung. Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa.

Rasulullah sendiri memberi contoh dengan khotbah-khotbahnya. Umumnya khotbah Rasulullah pendek, tapi dengan kata-kata yang padat makna. Nabi Muhammad menyebutnya “jawami’ al-qalam”. Ia berbicara dengan wajah yang serius dan memilih kata-kata yang sedapat mungkin menyentuh hati para pendengarnya. Irbadh bin Sariyah, salah seorang sahabatnya bercerita: “Suatu hari Nabi menyampaikan nasihat kepada kami. Bergetarlah hati kami dan berlinang air mata kami. Seorang diantara kami berkata Ya Rasulullah, seakan-akan baru kami dengar khotbah perpisahan. Tambahlah kami wasiat”.

Tidak jarang disela-sela khotbahnya, Nabi berhenti untuk bertanya kepada yang hadir atau memberi kesempatan kepada yang hadir untuk bertanya. Dengan segala otoritasnya, Nabi adalah orang yang senang membuka dialog.

3. Qaulan Maysura (perkataan yang ringan).
Dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan, mempergunakan bahasa yang mudah, ringkas dan tepat sehingga mudah dicerna dan dimengerti. Dalam Al-Qur’an ditemukan istilah qaulan maisura yang merupakan salah satu tuntunan untuk melakukan komunikasi dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengertidan melegakan perasaan.

Dalam Firman Allah dijelaskan:

Artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”. (QS. Al-Israa’: 28).

Maisura seperti yang terlihat pada ayat diatas sebenarnya berakar pada kata yasara, yang secara etimologi berarti mudah atau pantas. Sedangkan qaulan maisura menurut Jalaluddin Rakhmat, sebenarnya lebih tepat diartikan “ucapan yang menyenangkan,” lawannya adalah ucapan yang menyulitkan. Bila qaulan ma’rufa berisi petunjuk via perkataan yang baik, qaulan maisura berisi hal-hal yang menggembirakan via perkataan yang mudah dan pantas.

Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika. Dakwah dengan pendekatan ini harus menjadi pertimbangan mad’u misalnya yang dihadapi itu terdiri dari orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat dan masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.

4. Qaulan Layyina (perkataan yang lemah lembut).
Perintah menggunakan perkataan yang lemah lembut ini terdapat dalam Al Qur’an:

Artinya: ”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaahaa:44).

Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertutur kata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata-kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.

Komunikasi yang tidak mendapat sambutan yang baik dari orang lain adalah komunikasi yang dibarengi dengan sikap dan perilaku yang menakutkan dan dengan nada bicara yang tinggi dan emosional. Cara berkomunikasi seperti ini selain kurang menghargai orang lain, juga tidak etis dalam pandangan agama. Dalam perspektif komunikasi, komunikasi yang demikian, selain tidak komunikatif, juga membuat komunikan mengambil jarak disebabkan adanya perasaan takut di dalam dirinya.

Islam mengajarkan agar menggunakan komunikasi yang lemah lembut kepada siapa pun. Dalam lingkungan apapun, komunikator sebaiknya berkomunikasi pada komunikan dengan cara lemah lembut, jauh dari pemaksaan dan permusuhan. Dengan menggunakan komunikasi yang lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat yang menyusup ke dalam hati komunikan, ia juga berusaha menjadi pendengar yang baik.

Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh.

5. Qaulan Karima (perkataan yang mulia).
Islam mengajarkan agar mempergunakan perkataan yang mulia dalam berkomunikasi kepada siapapun. Perkataan yang mulia ini seperti terdapat dalam ayat Al-Qur’an Al-Isra ayat 23 yaitu:

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perktaan yang baik”.

Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.

Dalam perspektif dakwah maka pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak kasar kepadanya, karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut, bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sesat menurut ukuran agama.

Komunikasi yang baik tidak dinilai dari tinggi rendahnya jabatan atau pangkat seseorang, tetapi ia dinilai dari perkataan seseorang. Cukup banyak orang yang gagal berkomunikasi dengan baik kepada orang lain disebabkan mempergunakan perkataan yang keliru dan berpotensi merendahkan orang lain. Permasahan perkataan tidak bisa dianggap ringan dalam komunikasi. Karena salah perkataan berimplikasi terhadap kualitas komunikasi dan pada gilirannya mempengaruhi kualitas hubungan sosial. Bahkan karena salah perkataan hubungan sosial itu putus sama sekali.

6. Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik).
Qaulan Ma’rufa dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang pantas. Katama’rufa berbentuk isim maf’ul yang berasal dari madhinya, ’arafa. Salah satu pengertian ma’rufa secara etimologis adalah al-khair atau al-ihsan, yang berarti yang baik-baik. Jadi qawlan ma’rufa mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang baik dan pantas.

Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah. Qaulan ma’rufa berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman, perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.

Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam ayat Al-Qur'an (QS. Al-Ahzab ayat 32) ialah:

Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” [4]

E. Adab-Adab Dalam Berkomunikasi
Setiap kita manusia, setiap hari, dan hampir setiap saat, menggunakan dan membutuhkan komunikasi. Salah satu alat komunikasi yang sering kita gunakan adalah bahasa lisan. Dalam menggunakan bahasa atau berbicara dengan lawan bicara kita tentu harus menggunakan bahasa yang baik, mudah dipahami dan dimengerti. Rasulullah telah mencontohkan kepada kita. Betapa lembut dan dan santunnya Rasulullah. Sehingga masing-masing lawan bicaranya merasa dia yang paling dimuliakan Rasulullah.

Dalam berbicara dengan lawan bicara, kita harus menggunakan tata karma dan tutur kata yang baik. Jangan sampai bahasa kita menyakiti orang lain dan menimbulkan permusuhan. Akhlak yang baik akan mengeluarkan bahasa yang baik.

Maka oleh sebab itu kita sebagai umat muslim dan pelajar Islam, harus menunjukkan kata-kata yang baik dalam setiap bicara. Berikut ini adalah beberapa adab berkomunikasi yang dituntun dinul Islam :

1. Berkata baik atau diam
Adab Nabi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam.

2. Sedikit bicara lebih utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang meluncur bak air mengalir akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Karena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara.

3. Dilarang membicarakan setiap yang didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, ‘Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta’. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.

4. Jangan mengutuk dan berbicara kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Maka kita menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara.

5. Jangan senang berdebat meski benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumentasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna.

Tetapi, berdebat yang didasari ketidaktahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh pada retaknya persaudaraan dan menimbulkan permusuhan.

6. Dilarang berdusta untuk membuat orang tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digemari oleh sebagian besar umat manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:
“Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!”

7. Hendaknya berbicara dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah. Ungkapannya jelas dapat dipahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksakan.

8. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Hadis Rasulullah saw menyatakan, “Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).


9. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Aisyah ra telah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi apabila membicarakan sesuatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (Muttafaq ‘alaih).
10. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba.

Allah berfirman :

Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujarat: 12).

11. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak mengganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.

12. Menghindari perkataan kasar, keras, dan ucapan yang menyakitkan perasaan, dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan, dan pertentangan. [5]


F. Hikmah Berkomunikasi Dengan Baik
Banyak hikmah yang dapat peroleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif, di antaranya adalah :
1. Tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan.

2. Adanya saling kesefamanan antara komunikator dan komunikan dalam suatu permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi.

3. Menjaga hubungan baik dan silaturrahmi dalam suatu persahabatan, komunitas atau jama’ah.

4. Aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama umat manusia dapat diwujudkan dengan lebih persuasif dan penuh kedamaian. [6]



PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Etika komunikasi Islam adalah tata cara berkomunikasi yang sesuai dengan standar nilai moral atau akhlak dalam menilai benar atau salah perilaku seseorang disampaikan dengan mengandung unsur islami mengarahkan manusia kepada kemaslahatan dunia dan akhirat.

2. Adapun unsur-unsur dalam berkomunikasi adalah komunikator, komunikan, media, pesan, tanggapan.

3. Ada beberapa sikap dalam berkomunikasi yaitu berorientasi pada kebenaran (truth), tulus (sincerity), ramah (friendship), kesungguhan (seriousness), ketenangan (poise), percaya diri (self convidence). mau mendengarkan dengan baik ( good listener).

4. Dalam etika-etika komunikasi Islam ada 6 jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yaitu Qaulan Sadidan,Qaulan Balighan, Qaulan Maysura, Qaulan Layyina, Qaulan Karima, dan Qaulan Ma’rufa.

5. Dalam berkomunikasi terdapat berbagai macam manfaat dan hikmah yang akan kita peroleh.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran supaya makalah ini bisa lebih sempurna di kemudian harinya. Karena penulis hanyalah seorang santri biasa yang sedang belajar.

Selain itu penulis juga mengharapkan kepada pembaca agar tetap dan terus mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan komunikasi. Karena dengan komunikasi yang baik seseorang itu dimuliakan. Tetapi begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit bermanfaat dalam komunikasi kita sehari menjadi lebih baik.


[1] A. Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) hal. 9
[2] Mustafa Daud, Konsep Komunikasi Efektif, (Jakarta : Pustaka Amani, 2008) hal. 17
[3] Ibid., hal. 29
[4] Rahmah Fitriyani, Etika Komunikasi Islam, (Jakarta : Sinar Algesindo, 2011) hal. 16-22
[5] Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1982) hal. 84
[6] Abdul Saleh Rasyad. Manajemen Dakwah Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 45

No comments